Ketika faktor integritas
menjadi acuan bangsa-bangsa di dunia untuk maju, di Indonesia justru
sebaliknya. Korupsi malah terus beregenerasi secara masif. Sebanyak
1.408 kasus korupsi yang merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun selama
2004-2011 menjadi bukti buruk korupsi.
Demikian jalinan pesan
penting dari pidato Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Busyro Muqoddas, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo saat memperingati Hari
Antikorupsi Sedunia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta,
Selasa (4/12). Hadir dalam kesempatan itu sekitar 300 pegawai pajak.
”Menjadi
amat fundamental hari ini untuk melihat hadirnya integritas sebagai
perjuangan semesta. Ini bukan tanggung jawab pemerintah saja, melainkan
juga berbagai pihak. Menghadirkan integritas hari ini adalah kunci yang
sangat fundamental untuk Indonesia maju ke depan,” kata Anies.
Menurut
Anies, dunia sekarang tidak bisa lagi menoleransi hadirnya individu
tanpa integritas. Tren dunia adalah menuju tata kelola yang baik,
integritas penuh, dan hilangnya korupsi.
Pemiskinan struktural
Sebaliknya,
di Indonesia cacat integritas masih diberi ruang. Buktinya, kata
Anies, individu yang pernah terjerat kasus korupsi bisa maju menjadi
bupati. ”Tidak pernah ada kata terlambat dalam memulai integritas.
Namun, bila ini tidak menjadi kesadaran kolektif, kita semua akan
ketinggalan,” ujarnya.
Busyro menyebutkan, kasus korupsi telah
menyebabkan pemiskinan secara struktural, konflik horizontal, dan
akhirnya menimbulkan krisis peran negara. Sebanyak 1.408 kasus korupsi
yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi bukti dampak buruk
korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp 39,3 triliun. Anggaran
sebesar itu bisa untuk membangun, misalnya, 393.000 rumah sederhana atau
memberikan bantuan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru.
”Ketika
korupsi mencapai angka Rp 39,3 triliun sejak tahun 2004 sampai 2011
dan bisa diberikan padanan fasilitas publik seperti itu, tidak bisa
lagi kita bertoleransi sedikit pun terhadap korupsi,” kata Busyro.
Hal
yang menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan, lanjutnya, korupsi
beregenerasi. Regenerasi itu tampak dari jumlah tersangka korupsi dengan
umur di bawah 40 tahun yang belakangan semakin banyak. Keterlibatan
kaum perempuan juga meningkat.
Evolusi korupsi, kata Busyro,
mengarah pada bentuk-bentuk baru yang semakin sistemik dan sinergis.
Model yang paling membahayakan adalah korupsi yang didesain. KPK
menemukan banyak peraturan dan kebijakan, baik di pemerintah pusat
maupun daerah, yang didesain untuk melegalkan sesuatu yang ilegal.
Contohnya,
penyusunan undang-undang yang didesain untuk melegalkan korupsi. UU
itu sifatnya pesanan. Model lain adalah UU yang sejatinya bagus dan
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat akhirnya direvisi tanpa
alasan logis dan tanpa dasar moralitas hukum. Ada pula sejumlah UU yang
diajukan uji materi dan akhirnya dinyatakan inkonstitusional.
Korupsi
di daerah, Busyro menambahkan, juga semakin jamak. Targetnya adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hasil penelitian KPK
menunjukkan, APBD dijadikan sasaran korupsi oleh sebagian pejabat
pemerintah daerah dan DPRD. Ini melibatkan cukong politik dan cukong
finansial.
Berdasarkan data KPK, dari 332 tersangka kasus korupsi
selama tahun 2004-2011, sebanyak 106 orang di antaranya atau yang
terbanyak adalah pejabat eselon I-III. Berikutnya, pihak swasta 69
tersangka, anggota DPR dan DPRD 65 tersangka, serta bupati/ wali kota
dan wakil bupati/wakil wali kota 31 tersangka.
Target korupsinya
beragam, mulai dari sektor penerimaan pajak, penerimaan negara bukan
pajak, belanja barang dan jasa, bantuan sosial, pungutan daerah, hingga
transfer daerah. ”Bagaimanapun korupsi telah menimbulkan pemiskinan
struktural, konflik horizontal, dan akhirnya menimbulkan krisis peran
negara,” kata Busyro.
Rawan korupsi
Agus
Martowardojo mengakui, sektor perpajakan dan kepabeanan adalah wilayah
yang rawan korupsi. Karena itu, ia mengimbau semua pegawai di
Kementerian Keuangan untuk mencegah dan memberantas korupsi. ”Jangan
diteruskan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Hanya soal
waktu. Nanti hal ini akan terungkap dan betul-betul akan membuat kondisi
kita pedih,” kata Agus. Fungsi pemimpin dalam memberikan teladan
antikorupsi, menurut dia, adalah mutlak dan paling mendasar.
Melihat
fakta tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan,
mengatakan, DPR memang termasuk episentrum korupsi. ”Angka itu
sebenarnya baru gambaran kecil dari persoalan korupsi di Indonesia,
ibaratnya ini hanya puncak gunung es. Namun, setidaknya ini adalah
sinyal awal sistem korupsi di Indonesia telah tergambarkan dengan titik
episentrumnya di DPR,” kata Abdullah.
Fungsi kewenangan DPR yang besar memungkinkan mereka untuk korupsi, terutama ketika berkaitan dengan fungsi anggaran.
Fenomena
ini juga menggambarkan praktik kekuasaan yang korup dengan didominasi
kekuatan partai politik. ”Ini juga dampak dari liberalisasi demokrasi
yang di Indonesia diwarnai dengan politik biaya tinggi. Para kader
parpol berlomba-lomba mengumpulkan modal untuk mempertahankan
keberadaannya di internal parpol atau untuk modal agar terpilih lagi
pada masa mendatang,” ujar Abdullah.
Keuangan di daerah juga
tergerogoti korupsi. Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa, dalam
seminar di Komisi Hukum Nasional (KHN), mengatakan, setidaknya tercatat
1.890 laporan korupsi terjadi di sejumlah daerah, termasuk daerah
pemekaran.
Abdul Wahid, Direktur LPITI Universitas Islam Malang,
menyebutkan, penggerogotan keuangan daerah merupakan bentuk kejahatan
yang mengakibatkan banyak hak rakyat gagal ditegakkan.
Menurut
Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Indonesia
(Fitra) Uchok Sky, banyak kongkalikong terjadi dalam pemanfaatan dana
alokasi umum atau dana alokasi khusus. Febri Diansyah, peneliti ICW,
menyebutnya desentralisasi korupsi karena munculnya ”raja-raja” kecil di
daerah.
Dalam kondisi itu, Ketua KHN JE Sahetapy mengatakan,
”Keadaan negara kita sudah amburadul. Kalau politik pencitraan, semua
harus diungkapkan secara sopan, saya menyebut negara kita sedang
mengalami anomi. Keadaan berbangsa dan bernegara kita sedang
membingungkan.”
0 komentar:
Posting Komentar