Perdagangan
rempah-rempah di Ternate-Tidore oleh pedagang–pedagang berbagai bangsa
megakibatkan pelabuhan-pelabuhan di Minahasa menjadi ramai. Bahkan
Kaisar Cina-pun, mengirimkan banyak ekspedisi kapal layar Jung ke
Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 – 1293. Ekspedisi Cina tersebut
dilakukan utuk berperang atau untuk berdagang. Ketika melakukan
perdagangan, kapal-kapal layar jung inilah yang membawa keramik porselin
ke daerah minahasa. Mereka membawa keramik tersebut untuk ditukarkan
dengan beras. Beras yang diperoleh dari Minahasa kemudian dibawa ke
Ternate untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Hal itu dilakukan karena
raja-raja di Ternate gemar makan nasi, sementara di Ternate sendiri
tidak mepunyai tanaman padi. Jalur perdagangan cina ini kemudian diikuti
oleh pedagang dari Arab. Salah seorang pedagang asal Arab, Sharif Makdon,
pada tahun 1380 melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang lalu ke
Philippina Selatan. Selain melakukan perdagangan pedagang dari Arab ini
melakukan penyebaran agama Islam pada suku Manarouw Mangindanouw.
Kemudian jalur ini diikuti para pelaut asal Portugis diantaranya Pedro Alfonso.
Pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu
ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga
kapal layar ke Manarow (Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut, pedagang
asal Portugis melakukan pelayaran dengan menggunakan perahu ke Wenang
untuk berunding dengan kepala Walak Ruru Ares. Maksud kedatangan
Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang tanah. Tapi keinginan
Portugis untuk menyewa tanah di Wenang pupus karena Walak Ruru Ares
menolak untuk memberikan tempat bagi mereka. Setelah gagal di Wenang,
Protugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (Amurang) dan kemudian
mendirikan benteng Amurang pada tahun 1512. Ketika tiba didaerah
Minahasa (Amurang), Portugis yang saat itu membawa pedagang dan
rohaniwan lebih banyak daripada serdadu, belum berani masuk hingga
pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi
pantai dan pulau di sekitar Minahasa seperti di Siauw tahun 1518.
Walaupun para wanita yang mendiami daerah di tepi pantai sudah banyak
yang bersuamikan orang Portugis, tapi masyarakat di daerah pegunungan
baru menikah dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol pada tahun
1523. Salah satu contoh adalah salah seorang wanita asal Kakaskasen
Tomohon bernama Lingkan Wene yang menikah dengan Kapiten spanyol bernama Juan de Avedo. Anak lelaki dari pasangan suami istri ini kemudian diberi nama Mainalo Wula’an
karena mempunyai mata bulat bening (Indo Spayol). Perkawinan wanita
Minahasa dan pria asal Spanyol ini ternyata tidak disukai Portugis,
karena Portugis berasumsi bahwa Spanyol akan menguasai daerah Minahasa.
Apalagi ketika itu Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan
cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari
Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit
sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari
kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongondouw untuk
menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehinggga
akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa.
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an kemudian dinikahkan dengan gadis asal Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-Untu sementara istrinya di beri gelar Lingkan Wene. Pada tahun 1630, Muntu-Untu dan Lingkan Wene dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol dari segi Ordo Fransiscan. Kemudianmereka memperoleh status sebagai Raja Manado.
Bila
peran para Walian di Minahasa sebelum abad 15 hanya diketahui dari
legenda dan adat kebiasaan, maka pada abad 16 fungsi mereka dapat
ditemukan dari surat-surat para Missionaris Portugis dan Spanyol.
Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619.
Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai
sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para
Missionaris asal Spanyol. Dia juga menulis tentang perbuatan Walian Kali
yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa. Dua puluh lima tahun kemudian, surat Pater Juan Yranzo
yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol
dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut
mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Pada hari pertama,
10.000 serdadu Minahasa menangkap 22 orang Spanyol dan membunuh 19
orang. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua
Missionaris Spanyol. Sayangnya nama-nama Walian Minahasa tersebut tidak
disebutkan karena rencana mereka bocor hingga para Missionaris Spanyol
sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw. Dari surat –
surat para Missionaris Spanyol jelas terlihat peran Walian golongan
agama suku yag jadi motor penggerak peparangan tahun 1644. Tapi dengan
terbunuhnya Missionaris Spanyol justru menjadi pupuk penyubur
perkembangan Agama Katolik di Minahasa.
0 komentar:
Posting Komentar