Awu dan Taranak
Rumah Adat Minahasa |
Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut
Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti
dapur. Sampai sekarang di Minahasa masih banyak di dapati tempat masak
terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah
Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di pergunakan
banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno
sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal
di satu rumah besar berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang
tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi itu erat hubungannya dengan
keamanan.
Dalam kunjungan Prof. Reinwardt tahun 1821 ke Tondano
dia masih melihat rumah rumah yang tiang tiangnya sekitar dua pelukan
orang dewasa. Kemudian laporan Dr. Bleeker pada tahun 1855 menulis bahwa
kampung kampung di Minahasa di bangun di atas tiang tiang tinggi dan
besar, dan di huni oleh empat keluarga bersama sama.
Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga
yang sudah dewasa membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru
itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau wanita. Ruangan
terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti
yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah
yang di sebut awu.
Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut
Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota
Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Tondano sebelum 1880 © Het Geheugen van Nederland |
Sebagai kepala dari
Awu bertindak si
Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si
Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini
dalam tangan sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah
tangga berada di tangannya. Kepala di sini lebih dititik beratkan pada
arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap
serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan rumah tangga
si
Ama dan
Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang
meliputi beberapa bangsal. Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru
harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini menyangkut pengurusan
kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian bersama.
Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan
kekeluargaan di namakan
Taranak. Pimpinan
Taranak di pegang oleh
Ama dari keluarga cikal bakal yang di sebut
Tu'ur. Tugas utama
Tu'ur adalah melestarikan ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar
Awu, mengatur cara cara mengerjakan lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota
Taranak, hubungan antar
Awu dan
Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota
yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut
keamanan dan prestise
Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota
Taranak, karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Berlainan dengan di tingkat
Awu yang mana pengurus berada dalam tangan
Ama dan
Ina bersama sama, pada tingkat
Taranak peranan si
Ina tidak terlalu menonjol.
Taranak, Roong / Wanua, Walak
Perkawinan perkawinan antara anggota
Taranak membentuk
Taranak
Taranak baru. Bangsal bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin luas . Batas penentuan sesuatu
Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi kabur, dan arti
Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu
sebagai alat identifikasi para penghuni kompleks bangsal, dipakailah
kesatuan teritorial. Dengan kata lain fungsi identifikasi mulai bergeser
dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.
Pemilihan Ukung 1900 |
Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di sebut
Ro'ong atau
Wanua. Wilayah hukum
Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para penghuni
Ro'ong atau
Wanua itu. Pemimpin
Ro'ong atau
Wanua disebut
Ukung yang berarti kepala atau pimpinan. Untuk pengurusan wilayah,
Ro'ong atau
Wanua di bagi dalam beberapa bagian yang disebut
Lukar. Pada mulanya
Lukar ini dititik beratkan pada keamanan sehingga akhirnya
Lukar di ganti menjadi
Jaga.
Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata
Lukar dalam arti orang orang yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.
Para
Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut
Meweteng. Tugas mereka mulanya membantu
Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari
Ro'ong /
Wanua. Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu pula ada pembantu
Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama dalam hal hal
yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah
para tetua yang dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak
mempunyai cacat dan dapat dijadikan contoh di dalam
Wanua, yang di namakan
Pa Tu'usan (yang dapat dijadikan contoh).
Ro'ong /
Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa
Wanua tertentu yang akhirnya disebut
Walak.
Paesa In Deken
Pemerang Manado 1880 © Het Geheugen van Nederland |
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau
Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu
jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari
musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering
menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang
pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir
pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: "
Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: "
Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran
bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari
para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di
putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian
anggota. Sanksi atas penolakan dari
Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari
Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi
incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan
dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari
pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan
ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat
dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di
demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala
Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.
Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para
Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa.
Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara
terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para
peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu
kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja,
biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."
|
Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para
Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para
Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat
bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku.
Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah
adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal
demikian para
Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa.
Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah,
di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu
disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.
Dengan demikian sekalipun
Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi
kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang
di adakan di luar otoritas para
Ukung) merupakan peringatan kepada para
Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang
Tu'ur in
Taranak meninggal dunia para anggota
Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan
mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam
pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang
kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu
semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya
semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.
Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga (
Pa'eren Telu):
- Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
- Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
- Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .
Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan
dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga
jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena
warisan.
Dr. Riedel menulis:
"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih)
untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah
ini, para
Paendon Tua, di pilih oleh para
Awu. "
Mapalus (tolong menolong)
Dalam
Mapalus, prinsip yang sama kelihatan yang mana para wanita
memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan berarti wanita mempunyai
kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai kewajiban untuk
menjaga keamanan rombongan
Mapalus itu, dan mereka di haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi
Mapalus ini di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan
Kumeter), sesudah teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah
satu pimpinan di kampung dengan rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana
kerasnya aku mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk
anggota yang malas dan pelanggar peraturan".
Dan ketentuan ini masih berlangsung sampai sekarang di beberapa daerah di Minahasa.
Arti
Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno,
Mapalus masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong
karena tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena
perkembangan masyarakat selanjutnya, dimana milik perorangan telah
tercipta dan menonjol, maka arti
Mapalus berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota
Mapalus berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain
sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain dalam melakukan
pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah dll.
0 komentar:
Posting Komentar