Kabupaten Minahasa Tenggara
SEJARAH suatu bangsa menjadi
begitu bermakna sebagai ekspresi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan
pembanguannya, sekaligus dapat mencerminkan apresiasi jati diri
manusianya hingga generasi ke generasinya. Dari landasan itu, dicoba
untuk menelusuri sekilas historis tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan dan
Ratahan (Patokan) sebagai tou Minahasa Tenggara, tou Minahasa.
Dari Utara
Melalui
penelusuran sejarah asal-usul tou Minahasa, khususnya tou Pasan,
Tonsawang, Ponosakan, dan Ratahan (Patokan) beberapa pakar seperti AL
Beekman, Dr Paul Sarasin, Dr Frits Sarasin, J Ch Gaterer dan O Lorensz
menjelaskan, melihat ciri-ciri tou Minahasa umumnya yang bermata sipit
hitam kecoklatan dan warna kulit lebih terang dari suku bangsa Indonesia
lainnya, menyiratkan bahwa tou Minahasa adalah suku pendatang yang dari
luar, boleh jadi berkeluarga dengan bangsa Jepang dan Mongolia.
Darinya
para sejarawan Minahasa separti J.F. Malonda, (Membuka Tudung Dinamika
Filsafat Minahasa Purba, 1951), H.M. Taulu (Sedjarah Minahasa, 1955) dan
F. S. Watuseke (Sedjarah Minahasa, 1962) menyimpulkan, suku bangsa
Minahasa bertalian dengan Jepang dan Mongolia. Kenyataannya dapat lihat
dari bentuk tulang wajah (osteografi), rambut, mata, ruas buku anggota
badan, pigmen, darah dan adanya persamaan unsur-unsur arsitek bangunan
rumah dan bentuk waruga (Sejarah Minahasa, 1962). Mereka datang sekitar
tahun 500 hingga tahun 200 sebelum masehi (zaman perunggu) atau zaman
Melayu muda dengan mengarungi lautan, hingga tiba di Minahasa.
Dari
pendapat di atas, Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno,
1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan
Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan
turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke
Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari
pulau itu” Toar adalah seorang panglima perang kerajaan Ming, sedangkan
Lumimuut merupakan putri Raja Ming. Suatu ketika kerajaan Ming mendapat
serangan dari kerajaan tetangga dengan maksud untuk menguasai wilayah
kerajaan Ming, namun peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Toar.
Kemudian Raja Ming menghendaki agar putrinya Lumimuut menikah dengan
Toar, walaupun sesuai peraturan istana perkawinan itu tidak memungkinkan
karena Toar bukan keturunan bangsawan (Roy E Mamengko,ed, Etnik
Minahasa, 2002). Namun demikian Raja Ming tetap mengawinkan Toar dan
Lumimuut, walaupun keduanya tidak boleh tinggal di dalam istana. Itu
sebabnya setelah menikah, Toar dan Lumimuut bersama beberapa pengikut di
antaranya seorang Walian (pemimpin agama) yang bernama Karema, Tonaas
(pemimpin), Waraney (prajurit pemberani) dan beberapa rakyat biasa
(petani), merantau dengan mengarungi lautan hingga tiba di pantai ujung
utara Pulau Sulawesi dan berlabuh di tempat yang dinamakan
Tinumpaan/Tumpaan, artinya tempat yang dituruni.
Dari Tumpaan
mereka melakukan perjalanan ke arah barat hingga tiba di suatu dataran
luas yang di tengahnya terdapat sebuah danau besar yang dinamakan
Bulilin, artinya dipenuhi air, diapit oleh dua buah gunung, yaitu Gunung
Soputan, artinya perkasa, dan Gunung Wulur Mahatus, artinya pegunungan
seratus. Di tempat yang baru, Walian Karema mulai mengatur tempat
pemukiman di empat lokasi, yaitu bukit Batu, Powod, Abur, dan Kali.
Perkawinan
Toar dan Lumimuut, dikaruniai banyak anak (F.S Watuseke, Op.Cit,
1962). Kehamilan pertama dan kedua Lumimuut melahirkan dua kali kembar
sembilan, sehingga anak–anak itu di namakan Se Makarua Siow (2x9).
Kemudian saat melahirkan ketiga, keempat dan kelima, seluruhnya kembar
tujuh dan anak-anak itu dinamakan Se Makatelu Pitu (3x7). Pada
kelahiran yang keenam dan ketujuh, Lumimuut memperoleh kembar tiga.
Namun anak-anak itu bukan dinamakan Se Makarua Telu (2x3) melainkan Se
Pasiowan Telu, karena setiap kali anak-anak itu dilahirkan, disambut
dengan siulan burung Manguni sebanyak sembilan kali. Kelompok Makarua
Siow kemudian menjadi Walian, Makatelu Pitu menjadi Tonaas dan Pasiowan
Telu, menjadi rakyat biasa.
Adapun empat buah perahu yang
menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon dua di antaranya berlabuh di
Kema, kemudian mendirikan pemukiman di Minawerot, Kumelembuay dan
Kalawat (Klabat). Satu buah perahu berlabuh di Atep. Mereka menuju ke
sebelah barat dan menjumpai sebuah danau besar yang berada di tengah
dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim di situ lalu mendirikan
pemukiman Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan Kakas. Namun beberapa
di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah selatan hingga tiba di
Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke sebelah barat lalu
mendirikan pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah perahu berlabuh di
Pogidon kemudian mendirikan pemukiman Singkil dan Malalayang di sekitar
Gunung Bantik.
Ketika penduduk di sekitar Danau Bulilin terus
bertambah banyak, para Tonaas, Walian dan Potuusan berinisiatif
mengadakan musyawarah untuk membicarakan tentang (Tumani) penyebaran
penduduk ke berbagai penjuru di tanah Malesung. Tumani inilah yang
dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai pemancaran pertama orang
Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan orang-orang lain
yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi perkawinan
campur sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka
terciptalah wanua (negeri).
Sebagaimana ketentuan adat, golongan
Pasiowan Telu diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan
umum dan pinontol (bekerja kepada para pemimpin), seperti menanam dan
menuai. Selain itu diwajibkan membagi hasil pertanian, peternakan
maupun perburuan mereka kepada golongan Makarua Makasiow dan golongan
Makatelu Pitu serta melakukan ketentuan-ketentuan adat misalnya
mempersiapkan kurban persembahan setiap dilangsungkan ritual poso negeri
dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran (Drs. R. E. H.
Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).
Sekitar abad ke-5
terjadi pemberontakan dan peperangan dari golongan Pasiowan Telu karena
tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai lahan pertanian yang
sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik golongan Makarua
Siow dan Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar sistem
pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan Makarua
Siow dan golongan Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh
anggota masyarakat, tidak dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan
ketentuan adat.
Melihat peperangan antar Walak (kelompok Taranak)
terus berlangsung, tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan
pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan
persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung
Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat
pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862).
Kendati
berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero
yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari
golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi,
berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya:
- Menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak
-
Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang
tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang
Maha Agung) dan opo (leluhur).
- Setiap kaum Taranak dapat
mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap
mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh
siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai berikut :
1.
Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belung, dan Walian Kakamang
menuju sekitar Gunung Lokon dan bermukim di Mayesu, dekat Kinilow dan
Muung. Mereka disebut Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka
dinamakan Tombulu.
2. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas
Walalangi dan Walian Rogi menuju ke Niaranan dan Kembuan (Tonsea Lama).
Sebagian lagi mendirikan pemukiman di sekitar Gunung Kalawat (Kalabat).
Mereka disebut “Tou Un Sea” (Tonsea)
3. Taranak yang dipimpin
oleh Tonaas Karemis dan Piay, pergi ke arah barat dan menyebar ke
Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.
4.
Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit,
menuju ke Kakas, Atep dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.
5.
Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan.
Sebagian lagi mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka disebut Ratahan.
Yang menuju ke Towuntu (Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di
antara tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo),
Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan,
yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur
Mahatus (Pontak). Mereka disebut tou Ponosakan.
6. Kaum Taranak
yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau
Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu,
Kali dan Abur. Mereka disebut Toundanouw, artinya orang yang tinggal di
sekitar air. Kemudian bangsa Belanda menamakan mereka Tonsawang,
artinya orang yang suka menolong.
7. Kaum Taranak yang dipimpin
oleh Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju ke arah barat hingga tiba di
sekitar Gunung Bantik dan mendirikan pemukiman Malalayang. Beberapa di
antara mereka pergi bermukim di Pogidon dan Singkil. Karena bermukim di
sekitar Gunung Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.
Adapun salah
satu keputusan penting dari musyawarah di batu ‘’Tumotowa’’ yaitu
pembagian wilayah, sehingga batu itu dinamakan ‘’Watu Pinawetengan’’,
artinya batu tempat pembagian. Dalam perjalanan sejarah ternyata perang
antar anak suku di Malesung masih sering terjadi, sehingga 1428 para
pemimpin Minahasa kembali mengadakan musyawarah di sekitar Watu
Pinawetengan. Adapun keputusan yang dicapai dalam musyawarah, yaitu:
nama ‘’Malesung’’ diubah menjadi ‘’Minahasa’’, berasal dari kata esa
(satu), diberi awalan ma dan sisipan in, maka terbentuklah kata ‘’Maha
Esa’’ (menyatukan), kemudian menjadi ‘’Minahasa’’ (Dr. Godee Molsbergen,
Geschiedenis Van De Minahasa, 1929), artinya yang menjadi satu, yaitu
menyatukan seluruh anak suku Minahasa: Tontemboan, Tombulu, Tonsea,
Toulour, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tonsawang dan Bantik.
Mengacu
dari uraian di atas, itu berarti bahwa anak suku Patokan yang mendiami
wilayah Minahasa Tenggara yang selama ini terkesan adalah pendatang
baru, merupakan suatu kekeliruan, tetapi mereka adalah bagian dari satu
kesatuan yang tak terpisahkan dengan anak suku Minahasa lainnya.
Dalam Pusaran Peperangan
Tahun
1639 armada Spanyol memasuki pelabuhan Amurang. Di sana mereka melihat
penduduk setempat memakan nasi. Mengetahui sumbernya berasal dari
Tonsawang, bangsa Spanyol menuju ke sana dan menyaksikan betapa hasil
beras dan hutan berlimpah. Penduduk Tonsawang ketika itu dipimpin oleh
Ukung Oki. Kemudian bangsa Spanyol menjalin hubungan dagang dengan cara
tukar-menukar (barter). Semula bangsa Spanyol menunjukkan sikap
bersahabat sehingga mereka diterima oleh penduduk pribumi, bahkan atas
seizin Ukung Oki mereka diperkenankan mendirikan tempat penginapan di
dekat bukit Kali. Tidak berselang lama, mereka berubah merasa berkuasa,
menghina, dan memperkosa wanita setempat, hingga merampas harta benda.
Akibatnya Ukung Oki, segera memanggil panglima perang Lelengboto, untuk
melawan orang-orang Spanyol di tempat penginapan mereka hingga terjadi
pertempuran dahsyat. Melihat keberanian pasukan Tonsawang, pasukan
Spanyol mundur dan lari.
Pertempuran dahsyat ini mengakibatkan 40 pasukan Spanyol gugur dan pasukan Tonsawang 29 orang.
Tahun
1644 bangsa Spanyol kembali menduduki Amurang dengan maksud menuntut
dan menguasai pembelian beras serta hasil bumi lainnya dari Tonsawang
dan Pontak. Penduduk pribumi segera mengangkat senjata lalu terjadi
pertempuran yang sengit. Dalam pertempuran itu 100 pasukan Spanyol
tertawan dan terbunuh. Melihat keadaan demikian armada Spanyol pimpinan
Bartholomeo de Sousa meninggalkan Amurang lalu menuju ke Filipina.
Pasukan Tonsawang dan Tontemboan yang gugur antara lain: Panglima Monde
gugur sewaktu melindungi istrinya Ukung Oki dan Panglima Worotikan. Atas
kemenangan pasukan Ukung Oki, para pemimpin mengadakan musyawarah dan
menetapkan memberi gelar kepada Ukung Oki sebagai Ukung Wangko dan
Tonaas Wangko (hukum besar dan pemimpin besar) yang memimpin
pemerintahan di lima wilayah Walak, yaitu Tombasian, Tonsawang, Pasan
Ratahan dan Ponosakan. Benteng Portugis di Amurang dijadikan pusat
pemerintahan Tonaas Wangko Oki.
Di dalam menjalankan tugas
pemerintahannya, Tonaas Wangko Oki dikenal sebagai pemimpin yang arif
dan bijaksana sehingga ia dihormati dan disegani. Walaupun sudah
berstatus janda, namun kecantikannya tidak luntur bahkan semakin
menarik.
Raja Bolaang Mongondow saat itu, Loloda Mokoagow sangat
tertarik dengan kecantikan Tonaas Wangko Oki sehingga ia melamar Tonaas
Wangko Oki untuk menjadi istrinya. Lamaran Raja Loloda Mokoagow diterima
dengan syarat Raja Loloda Mokoagow menuruti permintaan Tonaas Wangko
Oki, yaitu tanah luas yang terhampar dari Sungai Ranoyapo hingga Sungai
Poigar sebagai dooho (mas kawin). Hamparan tanah tersebut adalah wilayah
yang sudah lama menjadi sengketa antara Minahasa dan Bolmong.
Permohonan Tonaas Wangko Oki disetujui Raja Loloda Mokoagow kemudian
mereka berdua melangsungkan perkawinan. Dengan ditetapkannya batas
antara Minahasa dan Bolmong yaitu Sungai Poigar di sebelah Barat dan
Sungai Buyat di sebelah timur.
Setelah kawin dengan Raja Loloda
Mokoagow, kepada Tonaas Wangko Oki diberikan gelar ratu karena sudah
menjadi istri seorang raja. Sejak itu mereka tinggal dan menetap di
Benteng Portugis, kompleks Gereja Sentrum Amurang. Kemudian Raja Loloda
Mokoagow mendirikan sebuah pesanggrahan sebagai tempat istirahat di
wilayah kerajaannya yang terletak di pelabuhan alam pantai utara. Tempat
itu dinamakan Labuhan Oki.
Adapun pemerintahan Ratu Oki terus
mengalami kemajuan pesat. Rakyatnya hidup makmur, aman dan tentram,
ditopang oleh pasukan keamanan yang kuat. Bahkan kekuatan pasukan
keamanan Ratu Oki sampai diketahui Raja Buitenzorg (Bogor) kemudian
memohon bantuan agar kiranya dapat mengirim tentara Ratu Oki untuk
memperkuat pasukan kerajaan Buitenzorg. Sebagai ucapan terima kasih,
Raja Buitenzorg memberikan hadiah berupa uang dan medali sebesar
teluritik yang terbuat dari berlian, di dalamnya bertuliskan Hadiah Raja
Buitenzorg kepada RatuTonsawang atas bantuan dan jasanya kepada Raja
Buitenzorg (P.A. Gosal, Ratu Oki, Srikandi Minahasa 2000).
Perang Patokan Melawan Belanda
Dengan
diterimanya kontrak perjanjian 10 Januari 1679 yang dibuat Belanda, itu
berarti Minahasa mengakui kekuasaan Belanda. Tetapi para Ukung dari
Bantik, Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan tidak mau menerima
perjanjian tersebut. Pihak Belanda beberapa kali mengadakan pendekatan
dengan para Ukung di wilayah Patokan agar menerima perjanjian itu
seperti halnya dengan para Ukung Minahasa lainnya. Sebagai tindak lanjut
dari desakan pihak Belanda, maka pemimpin keempat Walak masing-masing:
Ukung Rugian kepala Walak Tonsawang, Ukung Lokke kepala Walak Pasan,
Ukung Watah kepala Walak Ratahan dan Ukung Mokolensang kepala Walak
Ponosakan, sepekat mengadakan musyawarah, namun keputusannya tetap
menolak perjanjian 10 Januari 1679 karena dianggap hanya menguntungkan
pihak Belanda.
Melihat keteguhan prinsip mereka, pihak Belanda
mengutus suatu pasukan di bawah pimpinan Sersan Smith melalui ekspedisi
dengan kelengkapan perang melalui dua jalur, yaitu jalan darat dari
sebelah utara dan laut melalui pelabuhan Belang untuk menggempur keempat
wilayah itu. Walak Ratahan dan Ponosakan mendapat serangan mula-mula.
Penduduk mengadakan perlawanan tetapi pasukan Belanda yang menggunakan
perlengkapan perang yang modern saat itu, berhasil menghancurkan negeri
Ratahan dan korban berjatuhan. Peristiwa yang sama juga terjadi di
Ponosakan. 5 orang waraney dari Ratahan dan Ponosakan gugur. Dari
Ratahan pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Walak
Pasan dan Tonsawang. Setiba di Liwutung, pasukan dari Pasan dan
Tonsawang langsung menghadang dan mengadakan perlawanan terhadap pasukan
Belanda sehingga 40 penduduk bersama 5 orang Waraney gugur. Sejak saat
itu wilayah Walak Ratahan, Ponosakan, Pasan dan Tonsawang secara resmi
menerima perjanjian dengan Belanda, sama seperti Walak lainnya di
Minahasa.
Kabupaten Minahasa Tenggara
Awal
perjuangan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara sudah mulai menggema
sejak 1985, ketika anggota DPRD Kabupaten Minahasa saat itu mengadakan
kunjungan ke wilayah selatan Kabupaten Minahasa, dimana beberapa tokoh
masyarakat setempat mendesak agar Kabupaten Minahasa Selatan segera
dijadikan sebagai daerah otonom. Bersamaan dengan itu aspirasi yang
berkembang di Kecamatan Ratahan, Belang, dan Tombatu menginginkan agar
wilayah itu layak diperjuangkan menjadi Kabupaten Minahasa Tenggara.
Melalui sidang pleno DPRD Minahasa pada 11 Oktober 1985, berhasil
memutuskan tentang pemekaran Kabupaten Minahasa Tenggara yang mendapat
persetujuan dari pemerintah Kabupaten Minahasa saat itu yang diwakili
oleh Sekwilda, Drs SH Sarundajang. Tetapi usulan itu tidak disetujui
pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, dengan alasan bahwa pemekaran itu
belum mendesak.
Tahun 2003 beberapa tokoh masyarakat di wilayah
tenggara Minahasa kembali memperjuangkan Kabupaten Minahasa Tenggara,
Januari 2004, terbentuklah Panitia Perjuangan Pembentukan Kabupaten
Minahasa Tenggara (PPPKMT) dengan ketua, Dirk Tolu SH MH, Sekretaris
Arce Manawan SE dan Bendahara Julius Toloiu SE. Sebulan kemudian PPPKMT
mengajukan surat ke DPRD Kabupaten Minahasa dan Penjabat Bupati
Kebupaten Minahasa Selatan, perihal pengusulan pembentukan Kabupaten
Minahasa Tenggara. Sebagai tindak lanjut, Maret 2004, DPRD Kabupaten
Minahasa membentuk panitia khusus dengan ketua Julius EA Tiow,
Sekretaris Musa Rondo dengan anggota Ronald Andaria SAg dan Herman
Tambuwun mengadakan kunjungan kerja ke wilayah Minahasa Tenggara untuk
menampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya Panitia Khusus DPRD Minahasa
bertemu dengan Penjabat Bupati Minahasa Selatan Drs RM Luntungan untuk
melaporkan tentang aspirasi masyarakat Minahasa Tenggara.
Untuk
memberikan dukungan moril terhadap perjuangan pembentukan Kabupaten
Minahasa Tenggara, 31 Januari 2006 terbentuk Forum Pendukung
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara (FP3K MT) dengan
ketua, Johanis Jangin SE, Sekretaris Teddy Rugian SSos yang nantinya
mempresur politik ke pihak pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara dan pusat.
Selanjutnya secara
berturut-turut, 29 Mei 2006 kunjungan Panitia AD HOC I Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI yang terdiri dari Hj Sri Kadarwati Aswin, Ir Marhany
Pua, Lundu Panjaitan SH, Drs H Al Rasyid, Drs KH Marwan Aidid dan
seorang staf, Mohamad Ilyas SIP. 27 Juni 2006, anggota Komisi II DPR RI,
masing-masing Dr Abdul Gafur, Suyuti, Suyana beserta staf ahli DPR RI
Yanuwar dan tim Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada 10 Agustus
2006, semuanya dalam rangka mengadakan peninjauan tentang kelayakan
Minahasa Tenggara untuk menjadi sebagai kabupaten baru.
Pada 8
Desember 2006, di hadapan ratusan masyarakat Minahasa Tenggara yang
hadir di gedung senayan Jakarta, dalam sidang paripurna DPR RI
mengesahkan terbentuknya Kabupaten Minahasa Tenggara. Untuk menjalankan
roda pemerintahan, pada 23 Mei 2007, Menteri Dalam Negeri Ad Interm,
Widodo AS melantik Drs Albert Pontoh MM sebagai penjabat Bupati
Kabupaten Minahasa Tenggara.
Tou Patokan Dalam Ke-Minahasa-an
Kendati
secara pemerintahan Minahasa Tenggara sudah menjadi daerah otonom,
namun sebagai satu kesatuan yang utuh dari Minahasa, maka seharusnya
kita memahami makna yang terkandung dalam konteks Minahasa. Sebagaimana
hasil musyawarah di Watu Pinawetengan 1428 atau Deklarasi Maesa II,
yaitu nama Malesung diubah menjadi Nima Esa, Mina Esa, (Minahasa),
artinya: ‘’Ya Setuju Semua Menjadi Satu’’.
Nama Minahasa
mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui
musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya
akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou.
Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia
berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata),
maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan
(saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar),
masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling
menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya
bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard
Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).
Sebagai hasil dari peradaban,
pendidikan dan budaya yang selalu ingin maju, sejak permulaan abad ke-19
tou Minahasa, di dalamnya tou Patokan bagaikan eksodus meninggalkan
tanah leluhur, pergi ke berbagai pelosok Hindia Belanda (nusantara)
menjadi sebagai guru injil dan guru sekolah, pengawas perkebunan
pemerintah dan pegawai perusahaan swasta milik orang-orang Eropa di
Jawa, pegawai pemerintahan, polisi dan tentara KNIL. Selain itu tou
Minahasa menjadi pegawai pelayaran, jawatan kereta api, perusahaan
minyak, mendirikan pers melayu di antaranya Koran Jawa, Kabar Perniagaan
(1903) dan Jawa Tengah (1913) (David E.F. Henley Nasionalism And
Regionalisme In Minahasa, 1996). Selanjutnya banyak di antaranya
perantauan yang menggeluti profesi modern, seperti dokter, pengacara,
insinyur, politikus dan pengusaha yang tersebar di berbagai tempat.
Darinya, tou Minahasa termasuk pemerintah, menghormati
setinggi-tingginya atas segala hasil usaha putra-putri Minahasa karena
dengan saling bahu-membahu telah membawa kemajuan peradaban bagi sesama
yang terkebelakang di kepulauan nusantara.
Kendati demikian
dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada, tou Minahasa dengan bangga
akan berkata,’’saya adalah orang Indonesia asal Minahasa, anak cucu
Toar Lumimuut, putra-putri Kawanua’’. Pengembaraan tou Minahasa ke
seluruh penjuru dunia telah memberinya berbagai pengalaman sosial,
ekonomi, politik dan budaya berbagai bangsa, sekaligus tentang
kesuksesan dan kegagalan yang kesemuanya dapat menjadi wacana dalam
kerangka mencari jati diri tou Minahasa yang hakiki, yaitu tou ngaasan
(pinter), tou beatean (beriman) dan tou keter (kuat dan bertanggung
jawab).
Musyawarah Watu Pinawetengan di kaki Gunung Tonderukan,
kini sudah membilang berabad-abad lamanya. Dalam kurun waktu teramat
panjang, telah terbentang selaksa peristiwa silih berganti bagaikan
pelangi yang menghiasi sejarah perjalanan hidup tou Minahasa. Hal ini
berarti ke-minahasaan tetap dijiwai dalam ke-indonesia-an, bahkan dalam
kemancanegaraan bagi setiap tou Minahasa dimanapun ia berada, sebagai
bagian dari satu kesatuan Minahasa yang utuh.
Dengan demikian
makna tou Patokan dalam konteks tou Minahasa; adalah menyangkut jiwa,
kepribadian dan jati diri tou Minahasa. Jiwa, karena merupakan suatu
yang utama, menjadi sumber tenaga dan kehidupan; di dalamnya mencakup
seluruh keseutuhan perasaan batin, pikiran dan angan-angan, sehingga ia
merupakan roh kehidupan dari setiap tou Minahasa. Sebagai kepribadian,
karena ia merupakan seluruh dari sifat-sifat dan watak dari tou
Minahasa, dan sebagai jati diri karena ia merupakan sesuatu yang asli
dan murni sebagai ciri atau tanda pengenal tou Minahasa.
Hasil
karya tou Minahasa/tou Patokan sebagai perwujudan dari potensi cipta,
rasa, dan karsa itulah yang disebut sebagai budaya Minahasa dan
sebagaimana layaknya suatu budaya, ia mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang kemudian diaktakan dalam bentuk praktis yaitu suatu
kekayaan rohani berupa pemikiran, yang kemudian diwujudkan dalam setiap
ucapan dan perbuatan keseharian hidup sebagai tou Minahasa.#
*Tou Mitra, pemerhati sejarah budaya Minahasa
Jumat, 23 November 2012
Tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan dan Ratahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar