Senin, 31 Desember 2012

Kongres/Musyawarah Watu Pinawetengan

Kongres/Musyawarah Watu Pinawetengan
Tanggapan berita Ikrar Watu Pinawetengan

Saya secara tidak sengaja membaca harian Komentar edisi Jumat, 7 Januari 2005. Di situ tertulis sebuah berita mengenai pertemuan yang diadakan oleh Theo Tumion di Tomohon. Dia mengatakan bahwa akan menyelenggarakan Ikrar Watu Pinawetengan II.
Dikatakan pula bahwa Ikrar Watu Pinawetengan sebelummnya telah dilakukan oleh leluhur orang Minahasa yang disebut sebagai Ikrar Watu Pinawetengan, yang bertujuan untuk membagi Tanah Minahasa ke dalam sembilan sub-etnis.

Saya membantah hal ini. Jelas sekali pengetahuan mengenai sejarah Minahasanya begitu dangkal. Pertemuan di Watu Pinawetengan yang pertama kali tersebut (dianggap) untuk membagi Tanah Minahasa ke dalam 4 bagian utama para teranak/keluarga besar dari anak-anak Toar-Lumimuut. Mereka adalah teranak/keluarga besar Toumbulu (Tombulu), Tontewoh (Tonsea), Tompakewa, Tumaratas (Toulour). Sehingga suku asli Minahasa keturunan Toar (ayah) dan Lumimuut (ibu) hanyalah empat suku, yaitu Tontemboan, Tombulu, Tonsea, dan Toulour.


Suku luar pertama yang dianggap sebagai orang Malesung (Minahasa purba) adalah Tondano. Mereka bergabung dengan suku Tumaratas menjadi suku Toulour. Mereka dianggap datang dan mendarat di Tanjung Pulisan di Minahasa Utara dan menetap di wilayah yang diapar (dimiliki/hak milik) oleh orang Tonsea. Mereka berpindah tempat beberapa kali sampai akhirnya mereka menetap di pinggiran Danau Tondano dan menamakan dirinya orang Tondano. Orang Malesung menyebut mereka orang Toulour. Mereka diwajibkan memasukkan semacam pajak atau imbalan karena mendiami tanah yang diapar oleh orang Tonsea. Mereka mendirikan rumah di atas danau. Pada masa Belanda, mereka dipaksa untuk meninggalkan cara tersebut dan mendirikan rumah di darat, yaitu di kota Tondano saat ini. Suku Tontewoh berganti nama menjadi Tonsea pada saat Verbond 10 Januari 1679, sedangkan suku Tompakewa mulai menggunakan nama Tontemboan pada tahun 1875.

Suku lainnya bergabung dengan "Minahasa" (orang Tomohon menyebut Minaesa menjadi Minahesa, dan orang Belanda mengambil cara pengucapan tersebut menjadi Minahasa) adalah Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan, Bantik seiring masa Belanda dan pasca Perang Minahasa-Bolmong yang terakhir.

Berbicara mengenai Musyawarah di Watu Pinawetengan, (dalam beberapa tulisan) sebenarnya sudah terjadi sebanyak tujuh kali pertemuan, yaitu:

Musyawarah I
diadakan untuk pembagian Tanah Minahasa oleh keturunan Toar-Lumimuut yang berpusat di Tumaratas saat itu. Berdasarkan penyelidikan J.G.F.Riedel dari silsilah para tokoh-tokoh Musyawarah I tersebut dari para penutur sejarah silsilah Minahasa, didapati 40 silsilah dan ia berkesimpulan kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 670 Masehi. Hal ini dilaporkan dalam Bataviaach Genootschap terbitan tahun 1898.

Musyawarah II
diadakan sekitar tahun 1428-1450. Pertemuan ini dilakukan untuk mempersatukan percekcokan antar suku. Pada pertemuan inilah lahir kata Minaesa (Maesa) dan istilah Watu Pinawetengan i Nuwu (menurut para penginjil Riedel dan Schwarz).

Musyawarah III
diadakan tahun 1642 atau 1654. Pertemuan ini diselenggarakan oleh para Tonaas, Teterusan dan Walian guna mencari kata sepakat untuk mengusir orang Spanyol dari tanah Minahasa dan dicatat dengan goresan di batu tersebut. Pada pertemuan ini lahir istilah Watu Pakaeuran Unnuwu yaitu batu tempat memusyawarahkan pembicaraan-pembicaraan. Pertemuan ini memutuskan: (1) mengusir orang Spanyol dari Tanah Minahasa, dan (2) memerangi seluruh orang Spanyol di Minahasa. Hal ini dipicu oleh tindakan Spanyol (Tasikela) sendiri. Selain mereka diharuskan membayar upeti perlawanan timbul karena orang Spanyol menghina dan menggangu penduduk serta para wanita tetap Minahasa diganggu mereka.
Perlawanan orang Tomohon yang dikenal dengan Perang Tombulu-Spanyol terjadi berawal tanggal 10 Agustus 1643. Waktu itu orang Spanyol hendak mengangkat seorang raja untuk Minahasa yaitu Mainalo asal Kinilow yang merupakan keturunan Spanyol-Tombulu. Ukung (kepala negeri) Toumuhung, Lumi menolak permintaan tersebut sehinga seorang serdadu Spanyol menampar pipinya sampai terjatuh. Ia dan seluruh keluarganya naik darah dan mengangkat senjata terhadap orang Spanyol dan hal ini meluas pada rakyat sehingga menimbulkan pemberontakan. Sejumlah 19 orang Spanyol dipancung seketika dan 22 orang ditawan. Seluruhnya ada 44 orang dipancung dan dimakan kepalanya sesudah dipanggang masak. Hal ini membuat Spanyol tidak berani menginjakkan kakinya di Minahasa. Kisah ini ditulis oleh Pater Yranzo di Filipina dan diterjemahkan oleh misionaris Katolik Belanda ke dalam bahasa Belanda saat menginjil pada tahun 1800-an saat agama Katolik diijinkan pemerintah Hindia Belanda. kemudian Tahun 1651 mereka muncul lagi di Minahasa. Hanya orang Tondano yang tetap menyatakan simpati pada mereka. Namun 9 tahun kemudian mereka meninggalkan Minahasa selain juga karena Minahasa mendapat bantuan Belanda untuk mengusir mereka.

Musyawarah IV
diadakan pada saat terjadinya Perang Minahasa-Bolaang Mongondow (Bolmong) tahun 1655-1693 terhadap Raja Loloda Mokoagow (Datuk Binangkang) dan pasukan Bantik. Pertemuan ini untuk memusyawarahkan persatuan dan kesatuan kembali suku-suku Minahasa serta strategi perang. Hal ini dicatat dengan goresan pada Watu Pinawetengan.
Perang ini telah dimulai pada saat pemerintahan Raja Bolmong Dodi Mokoagow, Raja Tadohe yang kemudian dilanjutkan oleh Raja Loloda Mokoagow alias Datuk Binangkang. Pada saat itu, masing-masing suku tidak saling melindungi dan menghormati. Bila pasukan Bolmong yang dikejar orang Tonsea memasuki wilayah orang Tombulu maka mereka tidak akan melanjutkan pengejarannya. Begitu pula bila pasukan Bolmong lari dari kejaran orang Tombulu lalu masuk di wilayah orang Tontemboan maka pengejaran orang Tombulu itupun otomatis dihentikan.

Dengan musyawarah kebulatan tekad persatuan kali ini berakhir dengan kemenangan orang Minahasa. Raja Loloda Mokoagow yang hendak berperang kembali dengan Minahasa pada bulan Juni 1693 di Tompaso berhasil dipukul mundur oleh gabungan serikat suku-suku Minahasa. Pada bulan September 1694 diadakan perdamaian atas desakan VOC. Dalam perdamaian tersebut ditentukan perbatasan Minahasa dengan Bolaang Mongondow ialah sungai Poigar sampai Tanjung Poigar.
Baru pada tahun 1756 perbatasan Minahasa dan Bolmong ditetapkan lebih jelas lagi dalam kontrak VOC dan Bolmong. Wilayah Bolaang tidak boleh melalui negeri (desa) Poigar, Pontak dan Buyat, sedangkan Minahasa tidak boleh melewati Ponosakan, Tonsawang dan Amurang. Waktu itu wilayah Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan dan lembah sungai Ranoyapo dikuasai oleh Kerajaan Bolaang Mongondow. Tahun 1670 Kerajaan Manado (Kerajaan Bolmong) berakhir dan menjadi suatu walak yaitu Walak Manado. Pada kontrak perdamaian dan persahabatan tanggal 10 Januari 1679 antara Minahasa dan VOC, Minahasa mengakui kekuasaan VOC sebagai teman. Kontrak ini berlaku juga untuk suku Bantik (di Manado), Tonsawang, Ponosakan, Ratahan. Namun tahun 1683 mereka menolak VOC dan tetap memihak Bolmong. VOC mengatasinya dengan membakar negeri Ratahan dan Pasan. Dalam pertempuran ersebut 5 orang pemimpin dari Pasan tewas seta menewaskan 40 orang dalam pengungsian. Sesudahnya ekspedisi VOC ini dilanjutkan ke daerah Tonsawang. Sejak saat itu wilayah Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan secara de facto termasuk ke dalam wilayah Minahasa.

Musyawarah V
diadakan tahun 1807 pada saat terjadinya Perang Tondano-Belanda II tahun 1808-1809. Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels berkuasa, ia menganjurkan agar dibentuk sebuah pasukan tambahan untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di seluruh wilayah Hindia Belanda dengan mengerahkan orang Maluku dan Minahasa. Di Minahasa alkan dikerahkan 2000 orang pemuda. Pengerahan ini menjadi pokok utama dalam perlawanan suku Tondano. Dalam rapat yang diadakan oleh Residen Manado, kepala walak Tondano tidak hadir lagi. Mereka menyampaikan alasan-alasan yaitu rakyat Tondano tidak setuju menjadi serdadu Belanda, rakyat Tondano menghentikan pemasukan bekal untuk tentara keamanan kora-kora karena dalam kenyataan pembajakan di Minahasa terutama bajak laut Mangindano masih tetap ada, serta kontrak tahun 1679 mengenai peraturan pemasukan beras tidak ditaati oleh Belanda. Perang Tondano sendiri mulai pada akhir bulan Oktober 1808. Walak Tondano dibantu oleh beberapa walak lainnya terutama Walak Tomohon. Perang ini berakhir dengan kekalahan benteng Moraya di Minawanua Tondano tanggal 4 Agustus 1809 dengan menewaskan hampir seluruh penduduk. Baru pada tahun 1812 negeri Tondano yang baru didirikan.

Musyawarah VI
diadakan tahun 1939 atas prakarsa dari Dr. G.S.S.J. Ratulangi sebagai anggota GAPI Pusat. Ia mengumpulkan wakil-wakil dari seluruh pakasaan di Minahasa. Pertemuan ini ditujukan untuk memohon restu suksesnya perjuangan GAPI yang menuntut Indonesia berparlemen dalam kerangka self government-nya. Akhirnya Indonesia (Hindia Belanda) memiliki sebuah parlemen yang bernama Volksraad (=Dewan Rakyat atau DPR sekarang).

Musyawarah VII
diadakan musyawarah besar tanggal 25 Agustus 1945 oleh para pemimpn Minahasa saat itu untuk kebulatan tekad dan mohon restu akan suatu negara Indonesia merdeka.

Watu Pinawetengan sendiri sempat ditutupi timbunan tanah dan semak belukar. Abu letusan Gunung Soputan yang terjadi pada tahun-tahun 1785-86, 1819, 1833/38, 1845, 1890, 1906 sempat menimbuninya. Letusan 1832-33 sedemikian hebatnya sehingga menutupi sumur-sumur (parigi) yang berada pada jarak sekitar 18 km dari Gunung Soputan. Penginjil Jan A.T Schwarz memprakarsai pencarian Watu Pinawetengan. Setelah Hukum Besar Sonder Mayoor Albert Waworuntu dan Hukum Besar Kawangkoan Mayoor Warokka melihat maksud baik dari penginjil ini maka diadakan pencarian dan penggalian Watu Pinawetengan dengan bantuan Walian. Lalu penggalian dilakukan sepanjang 150 meter. Batu-batu yang ditemukan langsung diteliti. Pada hari kesembilan tanggal 19 Juli 1888 penggali di sebelah utara berteriak gembira "Kinamang ni Empung rengarengan! Wia mo si Watu ne-Opo Mahasa panero-neron! Eee he hoo!". Penginjil Schwarz merupakan orang luar pertama yang berada di Watu Pinawetengan tersebut.

Setelah bertahun-tahun tersembunyi, tahun 1938 batu tersebut ditemukan kembali oleh petugas kehutanan (Boswezen) Hindia Belanda bernama S. Moningka serta dilaporkan pada parlemen Minahasa (Minahasaraad atau Dewan Minahasa). Atas jasa anggota parlemen Minahasaraad Dr. Sam Ratulangi sehingga batu tersebut segera dibersihkan dari ilalang dan tanah pasir longsoran lereng Awuan yang menimbuninya.

Pada saat ditemukan kembali, kondisi batu tersebut masih berada di atas tanah. Saat diadakan pemugaran yang dilakukan oleh Gubernur Mantik, diadakan penggalian dengan menggali dan memotong punggung Gunung Awuan agar batu tersebut lebih berada di atas tanah. Namun, semakin digali semakin terperosok batu tersebut sehingga usaha penggalian batu itu dihentikan. Lokasi batu tersebut pada mulanya sejajar dengan punggung lereng Gunung Awuan. Pada saat sekarang ini lokasinya terbenam di bawah tanah sedalam 3 sampai 4 meter dari posisi semula.

Kesimpulan akhir yang didapatkan dari penjelasan di atas menunjukkan:
(1) bahwa pertemuan dan ikrar bersama orang Minahasa yang dilakukan di Watu Pinawetengan sudah terjadi beberapa kali, bukan hanya sekali saja.
(2) pembagian wilayah Minahasa dalam pertemuan awal di Watu Pinawetengan untuk membagi tanah Minahasa kedalam 4 bagian besar untuk teranak-teranak Toar-Lumimuut yaitu Tompakewa, Tompakewa, Tonsea dan Tumaratas, bukan ke dalam 9 sub etnis Minahasa dewasa ini. Suku Tondano, Tonsawang, Ratahan, Pasan, Ponosakan, Bantik bukan merupakan Malesung asli. Perbedaan yang ditemui antara lain dapat dilihat dari bahasa, warna kulit dan adat istiadat yang berbeda.


Hukuman Mati Di UU TIPIKOR

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus segera merevisi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Sebab, muatan RUU itu belum tegas, terutama perihal bentuk sanksi kepada koruptor yang ringan dan tidak adanya ketentuan pasal tentang hukuman mati.
”Ini ironis. Sebab, hukuman mati jika diterapkan akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi maupun mereka yang berencana melakukan korupsi. Ketiadaan hukuman mati bagi koruptor, membuat korupsi di Indonesia semakin merajalela,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sulan Agung (Unissula) Semarang Dr Mustaghfirin SH MHum didampingi Rektor Prof Laode Masihu Kamaluddin MSc MEng dalam jumpa pers di aula FH Unissula Jl Kaligawe.
Sebagaimana diketahui, RUU Tipikor muncul karena UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dinilai belum bisa memberantas korupsi secara efektif. Beberapa pasal RUU bahkan kontroversial, di antaranya soal korupsi senilai Rp 25 juta yang tidak akan dituntut di pengadilan tipikor.
Menurut Mustaghfirin, korupsi merupakan pelanggaran hak sosial dan ekonomi warga secara endemik, merusak sendi-sendi ekonomi nasional, dan merendahkan martabat bangsa di forum internasional. ”Korupsi sama saja mencuri kas negara. Untuk itu, selain harus dihukum mati, para koruptor kelas kakap harus dibebani membayar ganti rugi sesuai nominal yang dikorupsi, beserta dendanya,” tandasnya.
Legalitas Selain itu, lanjutnya, sesuai dengan asas legalitas pemanfaatan dan keadilan, seharusnya dalam RUU Tipikor dicantumkan tidak adanya pemberian ampunan bagi pelaku korupsi seperti mengurangi hukuman penjara maupun denda.
”Banyak pasal dalam RUU Tipikor yang berimplikasi pada pelemahan hukum tentang korupsi,” kata Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc, ketua BKSPTIS.
Kalau RUU Tipikor terus dilanjutkan pembahasannya, tutur dia, pemerintah sama saja main-main dengan komitmen memberantas korupsi yang merupakan agenda pokok dan amanat Gerakan Reformasi 1998.
Agar RUU Tipikor sesuai harapan rakyat, pihaknya mengimbau pemerintah melakukan public hearing khususnya dengan kalangan perguruan tinggi dalam meperbaiki RUU Tipikor bermasalah tersebut.

Catatan Mengapa Hambalang Membawa Andi Malarangeng Ke Dalam Kasusnya

Adik mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, Andi Rizal Mallarangeng, secara khusus menggelar jumpa pers, beberapa waktu lalu, untuk menjelaskan apa yang dia sebut sebagai kejanggalan dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Rizal terlihat masih tak menerima kenyataan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan . Rizal pun menuding ada pihak lain yang bertanggung jawab atas kasus itu. Pihak yang dia sebut sebagai penjaga bendungan anggaran Rp 1,2 triliun yang mengucur untuk membiayai proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Rizal dengan gamblang menyebut nama Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu.
Menurut Rizal, entah sebagai saksi atau tersangka, Agus dan Anny harus bertanggung jawab. Apalagi, menurut Rizal, ”air bah” Hambalang tak akan terjadi andai Agus selaku bendahara negara alias penjaga bendungan anggaran tak mengalirkan dana Rp 1,2 triliun. Rizal juga menyebutkan, kejanggalan pencairan Rp 1,2 triliun anggaran proyek Hambalang ini tanpa prosedur surat pengajuan anggaran. Rizal mempertanyakan motif Menteri Keuangan mencairkan dana meski di dalam proses pengajuan kontrak tahun jamak proyek Hambalang tidak terdapat tanda tangan dua menteri terkait, yakni Andi selaku Menpora dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Benarkah tudingan Rizal ini? Apakah memang Agus dan Anny dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang ini?
Pertama, yang harus dipahami adalah dalam kapasitas apa Andi dijadikan tersangka oleh KPK. Selaku Menpora, Andi adalah pengguna anggaran dalam proyek Hambalang. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, Andi ditetapkan sebagai tersangka dalam kaitan pengadaan proyek Hambalang. Artinya, Andi menjadi tersangka dalam kaitan pengadaan proyeknya. Bukan soal anggarannya. Johan mengilustrasikan terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengadaan proyek Hambalang dengan contoh, apakah dalam pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut ada bangunan yang tak sesuai bestek atau desain yang ditetapkan untuk dibuat sesuai kontraknya. Ilustrasi lain yang dicontohkan Johan jika suatu proyek pengadaannya dikorupsi adalah apakah ada penggelembungan dana dalam pembangunannya.
Publik, misalnya, baru tahu Mei silam bahwa proyek Hambalang ambles di tiga titik, yaitu fondasi bangunan lapangan badminton, bangunan gardu listrik, dan jalan nomor 13. Padahal, menurut keterangan resmi Kemenpora, amblesnya terjadi sejak Desember 2011. KPK pun melakukan penyelidikan atas amblesnya proyek Hambalang. Jelaslah bahwa Andi ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh KPK dalam hal pengadaan proyek. ”Jadi begini, perlu dijelaskan kepada publik bahwa dalam kaitan dengan kasus Hambalang, yang sudah dalam proses penyidikan adalah pengadaan pembangunan sport centre Hambalang di mana KPK menemukan ada dugaan penyalahgunaan wewenang. Ada dua alat bukti yang cukup sehingga ditetapkan DK (Deddy Kusdinar) dan AAM (Andi Alifian Mallarangeng) sebagai tersangka,” ujar Johan.
Lantas, soal kedua, dalam hal anggaran proyek Hambalang. Apakah karena Andi tidak tanda tangan seharusnya dia dilepaskan dari tanggung jawab hukum. Sebaliknya, Menkeu Agus harus bertanggung jawab karena dia tanda tangan pencairan anggaran untuk Hambalang. Menurut Johan, penetapan tersangka Hambalang bukan sekadar dia tanda tangan atau tidak tanda tangan dokumen anggaran. ”Bukan hanya soal, yang tidak tanda tangan tidak bisa dijadikan tersangka. Atau sebaliknya, yang tanda tangan dalam proses penganggaran harus jadi tersangka,” kata Johan. Kemudian, apakah KPK tak mengusut dugaan korupsi dalam penganggaran proyek Hambalang? Johan memberi jawaban, dalam pengadaan proyek Hambalang tentu ada cerita bagaimana anggaran tersebut digulirkan. ”Bagaimana anggaran yang tadinya single year jadi multiyears. Ini bagian yang juga harus kami ketahui. Karena itu, Wakil Menteri Keuangan yang sempat menjadi dirjen anggaran kami periksa,” kata Johan.
Johan pun mengakui, KPK sudah sejak awal menyelidiki dugaan adanya korupsi dalam pembahasan anggaran untuk proyek Hambalang. ”KPK juga sedang melakukan penyelidikan, apakah ada aliran dana yang diterima penyelenggara negara secara tidak sah. Apakah ada aliran negara yang diduga melanggar pasal-pasal UU Tipikor. Itu yang dilakukan KPK,” katanya. Sekarang, apakah Andi yang menurut Rizal tak menandatangani dokumen anggaran pengajuan tahun jamak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum? Nah, untuk klaim yang satu ini, harus juga dilihat, tak tanda tangan dokumen bukan berarti tak tahu ada anggaran dicairkan. Pertanyaannya, apakah Andi tak tahu ada perubahan single year ke multiyears. Apakah Andi tak tahu ada perubahan nilai anggaran proyek Hambalang dari ”hanya” Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun. Tak tanda tangan dokumen anggaran bukan berarti tak tahu ada anggaran besar untuk proyek Hambalang.
Untuk menjawabnya, kita mesti melihat dari berbagai fakta persidangan. Kasus Hambalang terekspose pertama kali oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam pelariannya. Nazaruddin yang kemudian jadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam perkara kasus suap wisma atlet SEA Games sempat mengungkapkan sedikit cerita soal Hambalang di persidangannya. Andi pun pernah bersaksi untuk Nazaruddin dalam persidangan tersebut. Andi tidak menyangkal ketika Ketua Majelis Hakim Dharmawatiningsih mengingatkan, dalam pertemuan pada Januari 2010 di kantor Kemenpora, Nazaruddin pernah menyinggung proyek Hambalang. ”Terdakwa saat itu menyatakan kepada Saudara bahwa sertifikat Hambalang sudah selesai. Apa reaksi Saudara?” tanya Ketua Majelis Hakim. Andi ketika itu menjawab, ia menganggap apa yang dikatakan Nazaruddin bukanlah informasi baru. Ia sudah diberi tahu beberapa hari sebelumnya oleh Sekretaris Kemenpora saat itu, Wafid Muharam, dan Biro Umum Kemenpora bahwa sertifikat tanah di Hambalang sudah selesai.
Lalu, ada kesaksian politikus Partai Demokrat yang juga Ketua Komisi X DPR Mahyudin. Dia mengungkap ada pertemuan antara dirinya bersama Nazaruddin serta Angelina Sondakh dan Andi di Kemenpora, Januari 2010. Dalam pertemuan itu, Nazaruddin sempat mengatakan kepada Andi bahwa proses sertifikasi tanah seluas 32 hektar untuk proyek Hambalang telah dibereskan. ”Saya ingat, Nazar bilang ke Menteri, ’Bang, sertifikat tanah Hambalang 32 hektar sudah selesai’,” kata Mahyudin saat bersaksi. Di sini konstruksi sangkaan KPK terhadap Andi terlihat berbeda jauh dengan logika yang dibangun Rizal. Bagi KPK, Andi menyalahgunakan wewenang dalam pengadaan proyek Hambalang. Bukan lagi soal dia tanda tangan atau tidak tanda tangan dokumen anggaran. Katakanlah dia tak tanda tangan dokumen anggaran, apakah Andi tak tahu soal anggaran Hambalang, padahal berdasarkan kesaksian di Pengadilan Tipikor, dia mengetahui proses pengadaan proyeknya. Kalaupun ada pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, rasanya KPK tak perlu digurui untuk bisa membongkarnya secara tuntas.