Sabtu, 08 Desember 2012

Obama Tokoh Berpengaruh 2012

WASHINGTON -  Untuk kedua kali, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Husen Obama masuk dalam daftar tokoh paling berpengaruh. Obama tahun ini bersama nama-nama seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, Paus Benediktus XVI, serta pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg tercatat dalam dirilis majalah Forbes tahun ini.  Namun, daftar the world"s most powerful people versi Forbes kali ini juga diisi oleh sejumlah sosok yang bisa jadi membuat alis berkerut. Misalnya, ada gembong kartel obat bius Meksiko Joaquin Guzman Loera dan pemimpin baru Korea Utara (Korut) Kim Jong-un.

Tahun lalu Presiden Tiongkok Hu Jintao menduduki posisi kedua. Tahun ini dia tergusur dari daftar itu bersama sejumlah tokoh lain. Saat ini Hu masih menjabat presiden Tiongkok. Tapi, sebagai sekjen Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping adalah pemimpin tertinggi yang baru di sana.

Hu juga dijadwalkan mundur dari jabatan presiden Maret tahun depan. Dalam daftar Forbes itu, Xi pun tercatat di peringkat sembilan. Daftar itu berisi 71 tokoh. Menurut Forbes, para tokoh tersebut mewakili penduduk dunia yang kini diperkirakan berjumlah 7,1 miliar. Dengan kata lain, nama setiap tokoh dalam daftar tersebut mewakili 100 juta penduduk dunia.

Obama kembali memuncaki daftar tokoh berpengaruh di dunia itu. Ini berarti tahun kedua Obama memimpin. Tahun lalu presiden AS pertama berkulit hitam (keturunan Afrika) tersebut juga berada di posisi teratas.   Menurut Forbes, kemenangan Obama dalam pilpres AS pada 6 November lalu menjadi faktor utamanya. Apalagi, Obama memenangi popular vote maupun electoral vote. Dia mengungguli capres rivalnya dari Partai Republik Mitt Romney. Masa jabatan periode kedua Obama akan dimulai Januari tahun depan hingga empat tahun berikutnya.

Obama kini menghadapi tantangan besar, seperti defisit fiskal, lonjakan utang, tingginya angka pengangguran AS maupun konflik atau pertikaian di Timur Tengah. "Tetapi, Obama tetap menjadi panglima militer terkuat di dunia dan petinggi superpower ekonomi maupun budaya. Dia juga pemimpin dunia bebas," tulis Forbes.

"Medali perak" atau peringkat kedua berada di tangan Kanselir Jerman Angela Merkel. Forbes menyebut Merkel sebagai tulang punggung Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara dan tokoh yang memikul nasib mata uang Euro di pundaknya.

Posisi ketiga diduduki Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia terpilih lagi untuk kali ketiga setelah beberapa tahun bertukar posisi dengan Perdana Menteri Dmitry Mevedev. "Secara resmi dia (Putin) adalah pemegang kekuasaan," kata Forbes.

Majalah itu menyusun daftar tersebut berdasarkan empat criteria. Yakni, kekuasaan atau pengaruh terhadap banyak orang, kontrol atas sumber daya keuangan, pengaruh dalam berbagai sisi kehidupan, dan penggunaan pengaruh secara aktif itu.

Obama berada dalam daftar 10 besar bersama Merkel,  Putin, Raja Abdullah bin Abdulaziz al Saud dari Arab Saudi (peringkat ke-7) dan Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron (peringkat ke-10). Daftar 10 besar itu juga diisi sejumlah pengusaha papan atas, seperti co-founder Microsoft Bill Gates (posisi 4), Chairman US Federal Reserve (bank sentral AS) Ben Bernanke (posisi 6), dan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi (posisi 8). Paus Benediktus XVI menempati posisi 5.

"Daftar tahun ini juga merefleksikan pergantian tokoh di dua negara paling berpengaruh di dunia, yakni AS dan Tiongkok," tutur Michael Noer, executive editor Forbes. Dia pun mencatat tergusurnya Hu Jintao dan masuknya Xi Jinping dalam daftar tersebut. Selain itu, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner dan Menlu AS Hillary Clinton tidak masuk daftar karena tak akan menjabat lagi dalam kabinet baru Obama nanti.

Wali Kota New York Michael Blommberg, yang duduk di posisi 16, memenuhi syarat sebagai tokoh erpengaruh karena dia menjadi pemimpin sebuah kota penting dan luas. Dia juga tercatat sebagai miliarder, tokoh media, maupun filantropis ternama. 

CEO Facebook Mark Zuckerberg menduduki peringkat ke-25 atau turun dari nomor sembilan pada tahun lalu. Itu terjadi karena kegagalan perusahaan jejaring media sosial miliknya di pasar modal. Harga saham Facebook anjlok.

Satu nama dari dunia hitam juga masuk daftar Forbes kali ini. Dia adalah miliarder Meksiko Joaquin Guzman Loera alias El Chapo, pemimpin kartel obat bius Sinaloa, yang ada di posisi 63. Menurut Forbes, Loera bertanggung jawab atas penyelundupan narkotika secara ilegal ke AS setiap tahun. Pemimpin baru Korut Kim Jong-un, 29, yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya, mendiang Kim Jong-il, tahun ini berada di posisi 44.

GMSR: Tak Masalah ke Singapura, Asal Ada Hasil

Mitra – Keberangkatan ketua-ketua PKK kecamatan, desa dan kelurahan se-Kabupaten Mitra menuju negara Singapura terus menuai kontroversi dari kalangan masyarakat di daerah berjuluk ‘pemulihan’ ini.
Kali ini giliran personil Generasi Muda (GMSR), Kecamatan Silian Raya yang menyorot keberangkatan 156 pengurus PKK. “Momennya sangat tidak pas ketika PKK terbang ke Singapura, apalagi jika benar dibiayai dana APBD. Padahal kalangan PNS begitu berharap agar pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mitra dapat segera merealisasikan TKD yang sudah memasuki bulan ke enam belum dibayarkan,” kata Franky Matu, salah satu pengurus GMSR.
Lanjutnya, keberangkatan PKK ini sebenarnya tidak akan menuai sorotan apabila kondisi daerah ini tidak sedang dalam berbagai persoalan, apalagi jika untuk tujuan yang tidak jelas. “Bukan masalah sebenarnya mereka (PKK, red) menuju Singapura, asalkan membuahkan hasil positif untuk kemajuan PKK lebih khusus kabupaten Mitra. Jangan kemudian hanya sekedar jalan-jalan alias pasiar,” pungkasnya.
Diketahui, keberangkatan PKK Mitra menuju Singapura sedikitnya menghabiskan anggaran Rp 800-an juta. Sedangkan sumber dana ini sendiri belum diketahui persis diambil dari pos mana, sebab belum ada kejelasan dari Pemkab Mitra.

Tokoh Wanita Minahasa

Naskah di bawah ini adalah tulisan rintisan untuk maksud penulisan buku dengan judul yang sama. Anda diperkenankan mengutip/menyalin tulisan ini dengan memperhatikan hak cipta, demi hormat dan kemuliaan Bangsa Minahasa.

Tokoh Wanita Minahasa

Bangsa Minahasa memiliki perempuan yang berprestasi. Ini dapat ditelusuri pada leluhur bangsa ini yang adalah wanita. Cikal bakal Minahasa ini bernama Lumimuut yang dipelihara oleh seorang perempuan tua bernama Karema. Lumimuut ini mengawini Toar, anaknya sendiri karena situasi Malesung saat itu yang tidak berpenghuni. Dari keturunan Toar-Lumimuut terbentuklah suatu bangsa yang bernama Malesung yang sekarang dikenal dengan Minahasa. Pada mulanya sistem kekerabatan di Malesung adalah menurut sistem matrilineal, yaitu keturunan yang berdasarkan atas garis keturunan perempuan. Pada perjalanan sejarahnya, sistem kekerabatan Malesung berubah menjadi sistem patrilieal, yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan atas garis keturunan pria seperti penggunaaan fam dewasa ini.

Dalam sejarah bangsa Minahasa, kaum perempuannya memiliki prestasi yang tidak bisa diabaikan. Beberapa kali wanita-wanitanya menjadi tonggak suatu sejarah. Pada masa legenda dahulu ada sejumlah wanitanya yang menjadi pahlawan seperti Lumimuut dan Karema sendiri, Pingkan Tiwow dari Buyungon, Pingkan Mogogunoi dari Tanawangko, Ratu Oki dari Tombatu, Woki Konda dari Pasan-Ratahan, dan lain sebagainya.

Pada era sekarang ini dapat kita catat prestasi sejumlah wanita Minahasa tersebut. Mereka adalah Wilhelmina Warokka (Mien) – seorang guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, Ny. Maria Y. Walanda-Maramis – seorang pemerhati status sosial kaum wanita Minahasa, Wulankajes Rachel Wilhelmina Ratulangi (kakak Dr. Sam Ratulangi dan istri Mayoor A.H.D. Supit) – wanita Indonesia pertama yang merebut ijasah K.E. (Kleinambtenaar) tahun 1898, Wulan Ratulangi (kakak kedua Dr. Sam Ratulangi) – wanita Indonesia pertama yang berhasil memperoleh ijasah Hulpacte tahun 1912, Nona Marie Doodoh – orang Indonesia pertama yang lulus Europeesche Hoofdacte, Stientje Ticoalu-Adam – pembicara dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Johana Masdani-Tumbuan – pembaca teks Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928, Ny. S.K. Pandean – singa betina dari Minahasa, Dr. Marie Thomasdokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922, Dr. Anna Warouw – dokter wanita ketiga Indonesia lulusan STOVIA tahun 1924, Dr. Dee M.A. Weydemuller – dokter wanita kedua Indonesia lulusan NIAS Surabaya 1924, Prof. Dr. Annie Abbas-Manoppo – sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia tahun 1934 juga guru besar wanita pertama Indonesia, Ny. A. M. Tine Waworoentoe (anak A.L. Waworuntu) – walikota wanita pertama Indonesia tahun 1950, Antonetee Waroh – anggota parelemen wanita pertama di Indonesia Timur, Dr. Agustina/Zus Ratulangi (anak Dr. Sam Ratulangi) – anggota parlemen wanita & termuda di Indonesia, Pdt. Tine Lumentut – dianggap sebagai wanita pertama di dunia yang memgang jabatan setingkat Uskup Agung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Sinode GKST (setingkat Uskup Agung). Selain itu kita mengenal Marianne Katoppo, STh, sastrawan wanita Indonesia, Vonny Anneke Panambunan – wanita yang menjadi Bupati Minahasa Utara sejak tahun 2005, Linneke Sjenny Watoelangkow – wanita yang menjadi Wakil Walikota Tomohon sejak tahun 2005.

Wilhelmina Warokka (Mien)

Nama : Wilhelmina Jacomina Warokka
Nama populer : Mien
Lahir :
Meninggal :
Keluarga:
Ayah : Henrik Alanos Warokka
Ibu : Jacoba Tumangken
Suami : E.W.J. Waworuntu (Pius)
Saudara:
  • Kakak:
  1. Willem Henri Warokka
  2. Calasina Justina Warokka
  3. Adeleida Adriana Warokka
  4. Johanna Carolina Estevina Warokka
  5. Lambertus Alanos Warokka
Adik:
  1. Martha Adeleida Warokka
  2. Martje Warokka
  3. Alexander Frederik Daniel Warokka
  4. Maria Bokky Warokka
Anak : 8 anak

  • WAROKKA, Wilhelmina ‘Mien’WAWORUNTU-, Putri Kepala Distrik Kawangkoan Mayoor H.A. Warokka. Sekolah di Sekolah Nona (Meisjesschool) Tomohon, dan lulus 1886, langsung diangkat menjadi guru wanita pertama. Menikah usia 15 tahun dengan Exaverius Walewangko ‘Pius’ Waworuntu yang belakangan menjadi Kepala Distrik Sonder. Ibu 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado)

    guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, dan memberinya 8 anak (2 putri menjadi guru, ada hukum kedua di Manado, dan seorang menjadi walikota Manado).

    Louwerier pada tanggal 1 November 1881 mensponsori pembukaan Meisjesschool (Sekolah Nona) di Kuranga. Sekolahnya berbahasa Belanda, dengan para murid merupakan anak-anak perempuan tokoh masyarakat dan pemerintahan. Lalu sebagai imbangannya didirikan HIS Jongenschool di Talete (untuk asrama dan rumah direktur) dan persekolahan di Paslaten disamping gereja besar.
    Sebagai kepala sekolah Meisjesschool adalah Gysbertha C. Krook dengan murid pertama 33 orang. Sekolah ini kelak digabung dengan Jongenschool menjadi Louwerierschool yang terkenal.

    Tomohon di masanya jadi pusat kegiatan Indische Kerk dengan adanya STOVIL dan Sekolah Nona, selain pusat kegiatan NZG yang masih mempertahankan Kweekschool voor onderwijzers en voorangers di Kuranga serta sekolah-sekolah lain.

    Disamping Wilken dan Louwerier, sejumlah zendeling yang banyak membantu usaha-usaha mengkristenkan penduduk Tomohon dan banyak menghasilkan tenaga-tenaga cendekia pertama, dalam jabatan mereka sebagai Direktur Kweekschool Kuranga, adalah H.C. Kruyt (1886-1889, yang kelak ke Batak), A. Hulstra (1889-1890), J.H. Riebenk Rooker (1890-1926), H. Berends ten Kate (1926-1927) dan Jan Mulder (1927-1930).

    Selain itu ada Pendeta H.J. Moens yang bertugas tahun 1895-1896, lalu Zendeling A. Limburg yang tahun 1893 jadi Kepala Jongenschool dan sejak 1895 selaku Kepala Meisjesschool.
    Untuk itu di tahun 1881, dibuka sekolah wanita Meissjeschool, atau sekolah Nona, di Kuranga, khusus untuk anak-anak wanita dari orang terkemuka, dipimpin kepala sekolah Gysbertha C. Krook.

    Awalnya sekolah ini memakai gedung Sekolah Guru ketika sempat ditutup, lalu dipindah ke Kaaten. Sekolah tersebut merupa-kan SD 6 tahun berbahasa Belanda, lengkap dengan asrama, sebagai imbangan dari Sekolah Raja (Hoofdenschool) yang dibentuk pemerintah Belanda di Tondano. Gijsberta Krook memimpin hingga meninggal dunia tahun 1886 dalam usia 36 tahun dan dikuburkan di Talete I. Kepala sekolah Meisjesschool terkenal lainnya sejak tahun 1895 adalah A. Limburg.

    Sekolah Nona yang terkenal di Kaaten.

    Hingga sebelum Perang Dunia ke-2, di Tomohon terdapat sebuah sekolah taman kanak-kanak (Frobel, kini TK ‘Sion’) di Paslaten, yang berdiri sejak bulan November 1935.

    Pelajar Sekolah Nona (Meissjesschool) bergerak jalan.

    Sementara untuk pengajaran rendah (Lager onderwjs), terdapat sekolah-sekolah dasar berbahasa Melayu. Seperti Volkschool, Inlands 2e kl. dan Vervolgschool. Sekolah Zending yang berbahasa Melayu, kebanyakan dibangun oleh NZG. Sekolah ini disediakan bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Ada SD 3 tahun, 5 tahun dan 6 tahun. Seperti Sekolah berbahasa Melayu milik NZG yang terkenal dengan julukan Sekolah Undap (L. Undap) di Kamasi (kini kompleks asrama RSU Bethesda), dan lain-lainnya.
    Sekolah Rak-yat yang didirikan pemerintah Belanda di Tomohon, antara lain: Sekolah Kelas 2 (Tweede Inland-sche School) 5 tahun, milik Gubernemen Nomor 1 di Paslaten (II kini). Untuk Nomor 2-nya di SDN II Matani III kini. Sekolah Kelas I (Eerste Inlandsche Sch-ool) hanya terdapat di Manado.
    Pelajar Sekolah Nona tahun 1935.

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis

    Ny. Maria Y. Walanda-Maramis
    (1872-1924)
    Pahlawan Nasional Indonesia
    Nama : Maria Josephine Chatarine Maramis
    Nama populer : Ny. Maria Walanda-Maramis / Noni

    Lahir : Kema, 1 Desember 1872
    Meninggal : Maumbi, 22 April 1924
    Keluarga:

    Ayah : Bernardus Maramis
    Ibu : Sarah Rotinsulu
    Om : Esau Rotinsulu (Mayoor Tonsea)
    • Suami : Joseph Frederick Kalusung Walanda (menikah tahun 1891)
    • Anak :

      1. Wilhelmina Frederika Walanda
      2. Paul Alexander Walanda
      3. Anna Pawlona Walanda
      4. Albertina Pauline Walanda
    Pendidikan:
    Peranan-Peranan:
    - tanggal 8 Juli 1917 mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya)

    Maria Walanda-Maramis dan suaminya pada peringatan hari pernikahan mereka.

    Maria Walanda-Maramis dilahirkan di Kema pada tanggal 1 Desember 1872 dari keluarga Maramis-Rotinsulu. Ia mempunyai dua orang kakak, masing-masing Altje Maramis dan Andries Maramis (ayah Mr. A.A. Maramis).
    Ketika baru berusia setahun, kedua orang tuanya meinggal dunia karena epidemi. Ia kemudian diambil oleh omnya yaitu T. Enoch Rotinsulu yang tinggal di Maumbi. Mereka mengasuh dan mendidik Noni seperti anak kandung mereka. Kemudian ia disekolahkan di SD Maumbi.
    Selama dalam asuhan keluarga Enoch Rotinsulu, Noni menunjukkan sifat-sifat sederhana, patuh, rajin dan cakap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya seperti merawat rumah, memasak dan tugas lainnya sebagai wanita. Dalam tingkah lakunya sehari-hari sudah nampak sejak kecil kehalusan jiwanya, pengetahuan yang luas dan tinggi, berjiwa besar dan seorang wanita yang mempunyai cita-cita tinggi.
    Ibu Maria menikah di Maumbi dengan orang Tanggari bernama Joseph Frederick Kalusung Walanda tanggal 22 Oktober 1891. Setelah menikah Ibu Maria lebih dikenal dengan Ny. Maria Walanda-Maramis. Keduanya dikaruniai 4 orang anak, yaitu 3 orang putri dan seorang putra, masing-masing bernama Wilhelmina Frederika, Paul Alexander, Anna Pawlona dan Albertina Pauline.
    Dengan bantuan teman-temannya, Noni Walanda-Maramis mendirikan organisasi PIKAT, yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya, pada tanggal 8 Juli 1917 sebagai langkah pertama untuk mewujudkan cita-citanya.
    Melalui PIKAT, berdirilah Huis Houd School atau Sekolah Rumah Tangga PIKAT pada tahun 1918. Wanita yang diterima dalam sekolah ini adalah wanita-wanita pribumi (Minahasa, dll) baik dari golongan tinggi, menengah maupun rendah. Di sana diberikan pengetahuan tentang pengurusan rumah tangga, memasak, menjahit, etiket (sopan santun). Melalui lembaga pendidikan ini kedudukan kaum wanita pribumi Hindia-Belanda di Minahasa makin lama makin meningkat.
    Gubernur Jenderal Hindia Belanda:
    tahun 1909-1916 A.W.F. Idenburg (kiri), dan tahun 1916-1921 J.P. graaf Van Limburg Stirum (kanan).

    Maria Walanda-Maramis meinggal di Rumah Sakit Manado pada tanggal 22 April 1924 dan dikuburkan di Maumbi. Pada detik-detik terakhir mengakhiri hidupnya, Ibu Walanda-Maramis sempat berpesan kepada suami dan teman-temannya, “Tolong lanjutkan hidup anakku yang bungsu , yaitu PIKAT.” Suami dan teman-teman dekatnya yang begitu mengasihinya berjanji untuk memelihara dan melanjutkan PIKAT dan sekolahnya.
    Atas jasa-jasanya, melalui perjuangan BPP PIKAT dan pimpinan-pimpinan cabang di Manado, Kepala Inspeksi Sosial Sulut serta restu Gubernur Sulut H.V. Worang, Noni diusulkan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pemerintah RI dengan pertimbangan yang matang yaitu dengan memperhatikan perjuangannya yang tidak kenal pamrih dan tidak pernah padam demi kemajuan wanita dalam penindasan, menetapkan Maria Walanda-Maramis pada tanggal 20 Mei 1969 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (Pahlawan Nasional Indonesia), sejajar dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya di Indonesia.



    Stien Adam
    Nama :Nama populer :
    Lahir :
    Meninggal :
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Ticoalu
    • Anak :
    Stien Adam – Sumpah Pemuda 1928

    ADAM, Mr. Sientje ‘Stien’ TICOALU-, Tokoh wanita. Aktivis pemuda Minahasa di tahun 1920-an. Menghadiri dan menjadi salah satu pimpinan Kongres Pemuda yang lahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.


    Johana Masdani-Tumbuan

    Johana Masdani-Tumbuan(1910-2006)


    Nama : Johana Tumbuan
    Nama populer : Johana Masdani-Tumbuan / Jo
    Lahir : Amurang, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Keluarga:
    • Ayah :
    • Ibu :
    • Suami : Masdani
    • Anak :


    TokohIndonesia.com:
    Nama : Johanna Masdani Tumbuan
    Lahir : Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910
    Meninggal : Jakarta, 13 Mei 2006
    Suami : Masdani
    Pendidikan:
    - Christelijke MULO di Jakarta
    - Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1961
    Aktivitas:
    - Jong Indonesia
    - Palang Merah Indonesia
    - Pembimbing Pandu Rakyat Indonesia
    - Pemuda Puteri Indonesia
    - Pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda
    - Saksi sejarah detik-detik proklamasi
    - Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP
    -
    Penghargaan,al:
    - Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia
    - Bintang Gerilya
    - Satya Lencana Penegak
    - Bintang Mahaputra Utama 1998
    Alamat Keluarga:
    Jalan Menteng Raya 25, Jakarta Jakarta Pusat



    Johanna Masdani (1910-2006)Bangsa Indonesia yang Sebenarnya

    “Saya menjadi bangsa Indonesia dalam arti kata yang sebenarnya,” kata Jos, panggilan akrab Johanna Masdani, saat ikut aktif dan terlibat dalam perkumpulan pemuda Indonesia di Gedung Indonesisch Clubhuis. Puteri bangsa kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910, ini berpulang Sabtu, 13 Mei 2006, dalam usianya yang 95 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Menteng Raya 25, Jakarta. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Senin (15/5).
    Gedung Indonesisch Clubhuis tersebut saat ini dikenal sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Sebagaimana ditulis dalam buku Apa dan Siapa 1985-1986, yang diterbitkan majalah TEMPO pada 1986, berawal di gedung itulah siswa Christelijke MULO di Jakarta itu memulai keterlibatannya pada pergerakan Indonesia.
    Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh kala itu, seperti Moh Yamin, Dr Rusmali, Mr Asaat juga dengan Masdani—mahasiswa kedokteran Stovia—yang kemudian mempersuntingnya.
    Dari Masdani, yang wafat pada Oktober 1967, itu Jos banyak belajar tentang keberpihakan kepada rakyat dan Indonesia. Jos yang lahir pada 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, dan berasal dari keluarga yang berada memutuskan menjadi guru di Perguruan Rakyat, Gang Kenari, Jakarta setelah semua bantuan dari orangtuanya diputus hanya karena ia memulai perjuangannya.
    Dalam buku Apa dan Siapa tersebut disebutkan, Jos pernah menjadi stenotypist pada Departemen van Financien sambil terus aktif dalam Jong Indonesia. Lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 1961, ia kemudian mengajar di almamaternya itu.
    Semasa pergerakan, ia aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia. Ia dikenal juga sebagai salah satu pelaku sejarah rapat Sumpah Pemuda dan menjadi saksi sejarah detik-detik proklamasi. Ia pun menjadi Pelopor Pejuang Puteri dengan pangkat Letnan I non-NRP.
    Dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo, ia memperoleh Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia. Itu adalah satu dari delapan penghargaan yang diperolehnya dari Pemerintah Indonesia. Terakhir ia memperoleh Bintang Mahaputra Utama dari Presiden BJ Habibie tahun 1998. Semasa Soekarno, ia memperoleh Bintang Gerilya dan Satya Lencana Penegak dari Presiden Soeharto. (Kompas, 14 Mei 2006). ► e-ti/crs

    Wikipedia.org:
    Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.
    Saksi sejarah
    Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
    Selain itu, Jo -- demikian ia biasa dipanggil -- juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
    Perjuangan
    Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
    Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
    Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
    Penghargaan
    Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
    Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006.

    Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa

    Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa
    oleh Bodewyn Grey Talumewo



    P R O K L A M A S I
    Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya, maka dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah Teritorial VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar Sementara, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik Indonesia.
    Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.
    Semoga Tuhan Yang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidayatNya atas umatNya.-

    Makassar, 2 M a r e t 1957.-
    Panglima Tentara & Territorial VII

    Letkol. H.N.V. Sumual

    Nrp. 15958


    Demikian proklamasi Ventje Sumual, penguasa militer di Indonesia Timur, tanggal 2 Maret 1957 dini hari. Pembacaan proklamasi ini disusul dengan pembacaan Piagam Perjuangan Semesta oleh Letkol Saleh Lahade. Pada tahap selanjutnya gerakan ini lebih dikenal dengan gerakan Permesta. Permesta yang diprakarsai oleh pihak militer Indonesia Timur ini kemudian mendapat sambutan antusias dari masyarakat karena program-program yang dijalankannya sesuai dengan tuntutan rakyat daerah pada saat itu. Daerah komando militer dari TT-VII/Wirabuana saat itu meliputi seluruh Indonesia bagian Timur, yang mencakup Propinsi Sulawesi, Propinsi Maluku, Propinsi Sunda Kecil dan Propinsi Papua Barat yang saat itu masih dikuasai Belanda. Pada tanggal 20 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual mengumumkan pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi, dengan dua provinsi yang dibagi menjadi dua yaitu Provinsi Sulawesi (Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan) dan Sunda Kecil (Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

    Negara Indonesia saat itu memang menghadapi masalah utama post war, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Pihak militer merasakan bahwa prajuritnya tidak sejahtera, tinggal di barak-barak peninggalan Belanda yang telah penuh bocor dan tidak bersekat antara satu keluarga prajurit dengan prajurit lain sehingga timbul masalah privasi, peralatan militer yang sebagian besar tidak optimal fungsinya, masalah perebutan Irian Barat dari tangan Belanda, masalah intern Angkatan Darat, dan sebagainya. Di pihak lain, masyarakat sipil juga menghadapi masalah kesejahteraan sosial.

    Pembangunan di Indonesia Timur dianggap sebelah mata oleh Pusat (Jakarta). Jalan-jalan penuh lubang dan tidak beraspal, infrastruktur yang tidak memadai, hanya meminjam bangunan rakyat, dan lain sebagainya.

    Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut: Biasanya anggaran pembelanjaan daerah tahunan dibuat dan dikirim pada setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan-potongan. Otorisasinya baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran yang berjalan dan biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian kembali akan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih. Demikian dari tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun-tahun menimpa daerah ini telah menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon-calon pengikut komunis (PKI) atau Darul Islam (barisan sakit hati) yang potensial.

    Sulawesi Utaralah yang solider terhadap Permesta. Daerah Sulawesi Selatan tidak lagi antusias dengan Permesta sehingga Sulsel tidak dapat diharapkan lagi untuk menjadi basis Permesta. Pada bulan Juni 1957, setelah TT-VII/Wirabuana dibubarkan dan dipecah menjadi empat KODAM (Merdeka, Hasanuddin, Pattimura dan Udayana), maka golongan yang pro-Permesta yang pada umumnya anak Manado akhirnya membangun kekuatan di Manado untuk tujuan pembangunan daerah.

    Salah satu proyek penting Permesta di daerah ini adalah pendirian Universitas Permesta tanggal 23 September 1957 di Sario Manado. Memang di daerah ini belum memiliki universitas milik pemerintah.

    Tanggal 30 September 1957 Presiden Soekarno mengadakan kunjungan resmi di Universitas Permesta di Sario Manado kemudian berkunjung ke Tomohon untuk menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja Sion Tomohon. Di gereja Sion ia berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat dalam Injil Yohanes 1:1 (kelak, ucapan ini disitir oleh Permesta untuk menyerang paham komunis yang diperkenalkan oleh Soekarno sendiri dalam wujud pengesahan PKI). Setelah itu ia menghadiri jamuan makan di Kantor Sinode GMIM (kini berdiri Akper Bethesda). Kunjungan ini turut dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat, Mesir, Pakistan, Swedia serta tiga orang menteri RI.

    Situasi dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta, sehingga peristiwa kedatangan Soekarno ini mendapatkan keuntungan tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta, menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah-sah saja oleh pemerintah pusat.

    Tanggal 17 Februari 1958, dua hari setelah PRRI di Sumatera memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Permesta mengadakan rapat raksasa di lapangan Sario Manado dimana Letkol D.J. Somba mengumumkan pernyataan yang sangat pendek: “Rakyat Sulutteng termasuk militer solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah RI.”

    Konsekuensinya adalah pemberontakan bersenjata. Ini dibuktikan tanggal 22 Januari dengan pernyataan perang bersenjata dari Pemerintah Pusat yang menjatuhkan beberapa bom di Manado. Mulai saat itu berlakulah slogan “civis pacem para bellum, yang mencintai damai haruslah bersedia perang”. Pihak Permesta berkata, “Lebih terhormat bangkit dan melawan, daripada mati di ujung peluru bangsa sendiri,” atau “Torang mungkin kalah di pertempuran, mar bukang di peperangan.”

    Dukungan rakyat terhadap Permesta sendiri begitu besar hingga disebutkan “Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!”

    Pada saat Tentara Pusat mengadakan operasi merebut semua daerah Permesta serta menjatuhkan beberapa selebaran, maka Permesta membalasnya dengan mengumumkan semboyan penggugah “Hanya kalau kering Danau Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru Tentara Djuanda dapat menginjakkan kakinya di Minahasa.”

    Permesta kemudian membangun kekuatan militer dalam satuan divisi yang bernaung di bawah kendali Kabinet Revolusioner PRRI pimpinan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tandingan dari Kabinet Karya pimpinan Djuanda. Divisi Permesta sendiri merupakan bagian dari Angkatan Perang Revolusioner (APREV) PRRI dengan Panglima Besar Mayjen Revolusioner Alex E. Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) dipimpinan panglimanya Brigjen Revolusioner H.N. Ventje Sumual, serta Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dipimpin Komodor AUREV Petit Muharto Kartodirjo (asal Jawa). Pemerintahan sipil Permesta dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri (Waperdam) PRRI Kolonel Joop Warouw.
    Pada tanggal 12 April 1958, tiga pesawat pertama yang diperbantukan dalam pertahanan udara PRRI (dalam AUREV) berupa pesawat B-26 Bomber diberangkatkan dari US Clarck Airfield di Filipina menuju Mapanget. Kemudian pemboman AUREV pertama kali dilakukan di Lapangan Mandai Makassar pukul 5:35-5:51 pagi hari. Sebetulnya pengeboman di LU Mandai Makassar sebenarnya akan menggunakan 2 pesawat pembom B-26. Namun pesawat yang satunya, yang dikendalikan oleh penerbang berkebangsaan AS jatuh setelah mengadakan take off dari LU Mapanget. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya 2 pilot AS, dan seorang serdadu telegrafis Permesta. Pengeboman selanjutnya dilakukan di Balikpapan (4x yaitu 16 April, 22 April, 28 April dan 19 Mei), Ambon dengan lapangan udara Pattimuranya (7x, mulai 27 April, 28 April, 1 Mei, 8 Mei, 15 Mei, 18 Mei), Ternate (5x), Morotai (3x), Bitung, pelabuhan Palu-Donggala-Balikpapan (16 dan 20 April), Gorontalo, dan lain-lain.

    Untuk melumpuhkan Jakarta, Permesta mengadakan “Operasi Djakarta II" di bawah komando Panglima KDP II/Minahasa Letkol D.J. Somba. Rencana ofensif secara bertahap terhadap ibukota RI Jakarta ini dibekali dengan persediaan senjata dan amunisi untuk satu divisi dan tenaga-tenaga prajurit yang cukup militan dalam latihan, serta air-cover (perlindungan udara) dari pesawat AUREV. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut: Pertama, merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat, dari sana menyerang & menduduki Balikpapan dengan kekuatan 1 resimen RTP, sasaran kedua adalah Bali, sasaran ketiga adalah Pontianak, sasaran terakhir adalah menyeberang ke Jawa untuk selanjutnya menyerbu Jakarta. Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat di Jakarta agar berunding dengan PRRI. Namun operasi ini gagal akibat tanggal 15 Mei 1958 sejumlah besar pesawat AUREV dihancurkan AURI di Mapanget, Tasuka/Kalawiran serta tertangkapnya Allan Pope, agen CIA yang membantu Permesta sebagai pilot AUREV.
    Tanggal 16 Juni 1958 dilakukan pendaratan pertama kali Tentara Pusat secara besar-besaran di pantai Kema Minahasa dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol. Roekmito Hendraningrat berkekuatan 4.000 tentara gabungan APRI/TNI. Tanggal 26 Juni kota Manado jatuh ke tangan Tentara Pusat. Tanggal 21 Juli Tondano jatuh menyusul kejatuhan Tomohon, pusat kekuatan Permesta saat itu, pada tanggal 16 Agustus akibat pengkhianatan Mayor Mongdong. Dengan kejatuhan Tomohon ini, kota-kota kecil di selatan dengan mudah direbut Tentara Pusat. Memang Permesta sempat mengadakan serangan umum besar-besaran serentak di Minahasa, yang diberi nama "Operation Djakarta Special One" pada tanggal 17 Februari 1959, namun usaha ini kurang berhasil.

    Perundingan-perundingan perdamaian antara Permesta dan Pemerintah RI diadakan secara terselubung. Broer Tumbelaka melakukan pendekatan dengan Permesta atas nama Pemerintah Pusat. Usaha ini berhasil sehingga pada 4 April 1961 diadakanlah upacara perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat di Malenos Baru – Amurang (saat itu masih berupa hutan jati). D.J. Somba selaku Komandan KDM-SUT prapergolakan bersenjata membacakan pernyataan bahwa Permesta “kembali ke pangkuan ibu pertiwi.” Pada tanggal 14 April 1961 diadakan upacara defile "Penyelesaian" secara resmi yang diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan.

    Sebagai hasil penyelesaian Pemerintah Pusat di Jakarta dengan Alex Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 di antaranya anggota militer, serta 8.000 di antaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 di antaranya dari KDM-SUT, dan 9.000 bekas anggota KNIL (1.000 diantaranya sudah pensiun). Jumlah Pasukan Wanita Permesta (PWP) yang menyerahkan diri saat itu adalah 1.502 orang.

    Perang Pergolakan Permesta ini menimbulkan duka bagi orang Minahasa. Dalam perang tahun 1958-1961, Pergolakan Permesta memakan sekitar 15.000 nyawa melayang. Selain itu ada 394 desa di seluruh Sulutteng musnah dibakar, puluhan ibukota kecamatan dan satu ibukota kabupaten (Kotamobagu) musnah dibakar. Namun, dalam tempo sebulan sesudah perdamaian, pengungsi mulai turun ke kampung memperbaiki rumahnya. Sebagai contoh, penduduk Kakaskasen langsung mendirikan 600 pondok, rumah, sekolah darurat dan balai pengobatan di antara puing-puing kampungnya.

    Rakyat memang merupakan korban utama dari perang saudara ini. Ada 27.000 kepala keluarga atau seperempat dari total penduduk Minahasa yang kehilangan tempat tinggalnya akibat menyingkir ke pedalaman, kebun, sabuah, dan lain-lain.

    Menurut keterangan KSAD A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan bahwa rata-rata tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI, sehingga diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sekitar 5.500 orang. Dalam catatan pemerintah, Peristiwa Permesta ini memakan korban 10.150 orang dari pihak RI tewas (2.499 prajurit, 956 anggota OPR atau hansip, 274 polisi dan 5.592 penduduk sipil). Sedangkan di pihak PRRI/Permesta, ada 22.174 yang tewas.

    NOSTALGIA MENTERI ASAL MINAHASA


    NOSTALGIA MENTERI ASAL MINAHASA

    Oleh
    Bodewyn Grey Talumewo



    Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI banyak orang Minahasa yang menjadi menteri. Hampir di seluruh kabinet yang gonta-ganti personil itu ada orang Minahasa. Rata-rata setiap kabinet ada dua orang Minahasa. Itu dulu, masa Orde Lama. Nah, dulu banyak orang Minahasa yang menjadi menteri, kenapa sekarang? Apakah orang Minahasa kalah kualitasnya dengan sukubangsa Indonesia yang lainnya? Apakah orang Minahasa sengaja digasak dan digusur dari kepemimpinan Indonesia? Mungkinkah karena masa lalu yang kotor – antek-antek Belanda? Ataukah ada alasan lainnya? Anggap saja tidak ada alasan lainnya itu.

    Setiap menjelang penyusunan kabinet yang baru, pasti akan beredar bisik-bisik (baca: harapan) di kalangan Kawanua (Tou Minahasa) bahwa si A atau si Jenderal B pasti akan duduk dalam jajaran kabinet menteri yang akan segera diumumkan. Namun, waktu senantiasa berlalu. Harapan orang Minahasa yang menjadi kenyataan gigi jare. Hal ini dialami selama masa Orde Baru. Pernah ada seseorang Minahasa yang “mujur” menjadi menteri, Drs. Theo L. Sambuaga. Ya, hanya dia.

    Selama 31 tahun kepemimpinan Soeharto dengan Orde Baru-nya (1966-1997), tak satu pun orang Minahasa yang menjadi menteri. Padahal, hanya dalam 21 tahun pertama RI (1945-1966), 10 orang Minahasa yang menjabat sebagai menteri. Belum lagi 8 menteri dalam kabinet Negara indonesia Timur. Ketika Prof BJ Habibie menjadi Menristek ada ungkapan, “torang so kalah dari dorang orang Gorontalo.” Sungguh tragis!

    Setelah Theo Sambuaga, tidak ada satu pun orang Minahasa yang ikut dalam kabinet pimpinan Presiden Gus Dur, Megawati dan SBY. Satu hal yang memalukan bagi orang Minahasa pada awal pemerintahan Megawati adalah dengan dicopotnya Letjen Arie Kumaat sebagai Kepala Badan Intelejen Nasional dan digantikan orang lain. Yang menjadi masalah saat jabatan Kepala BIN itu dimasukkan dalam struktur kabinet. Jadi yang torang dengar bukan menteri asal Minahasa yang diangkat, melainkan orang Minahasa yang dicopot, lalu jabatan itu dimasukkan dalam struktur kabinet. Cuma ada “obat” ketika Laksamana Bernard Kent Sondakh diangkat menjadi Kepala Staf TNI-AL.

    Kasus kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono lain lagi. Pada waktu kampanye Pemilu & Pemilihan Presiden di Manado, ia berjanji terhadap orang Manado bahwa Sekjen DPP Partai Demokrat Letjen E.E. Mangindaan akan dijadikan menteri bila ia terpilih menjadi presiden nanti. Alhasil pada saat hari pemilihan, partai yang baru berdiri ini termasuk dalam empat besar pemenang Pemilu dan menang Pilpres di Sulut. Namun janji yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang. Mereka pun gigi jare.

    Ada cerita lain selama Orde Baru. Karena tidak ada satu pun orang Minahasa yang menjadi menteri maka semua menteri yang ada hubungan dengan Minahasa pun dibanggabanggakan. Misalnya, Menpora Hayono Isman, “depe mama kan orang Remboken, Els Wowor.” AtauMenkeu Radius Prawiro, “depe maitua kan Leonny Supit”. Atau Oetojo Oesman SH, Menteri Kehakiman. Menteri KLH Ir Sarwono Kusumaatmadja, “depe maitua kan Nini Maramis, Duta Besar Maramis pe anak.” Juga Agung Laksono, “depe maitua kan Amelia Wenas.” Lihat juga Menaker Laksamana Purn. Sudomo, “depe maitua kan Sisca Piay.” Bahkan isu bahwa Sudomo itu orang Tompaso dari fam Rawis. Try Sutrisno pun kena imbasnya. Isu menyebutkan ia asal Kanonang Kawangkoan dari anak luar dokter Sam Supit dengan pembantunya.

    Pada masa Orde Reformasi ada Laksamana Sukardi, suami dari Ritha Wullur. Pada masa pemerintahan Orde Lama pimpinan Soekarno ada juga menteri yang beristrikan Tou Minahasa. Mereka adalah “bengawan ekonomi” Prof. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo yaitu suami Dora Sigar dan ayah dari Letjen Prabowo Subianto, serta Menteri Prof. Mr. R. Soenario, yaitu suami dari Dina Maranta Pantouw.

    Sapa so tu Tou Minahasa yang pernah menjadi menteri? Dorang itu adalah Mr. A.A. Maramis, Ir. Herling Laoh, dengan kakaknya Frits Laoh, Mr. Arnold Mononutu, Nyong Umbas, Gustaaf A. Maengkom, Ir. Fred J. Inkiriwang, Ds. Wim J. Rumambi, Drs. Jan D. Massie, Hans A. Pandelaki, Drs. Theo L. Sambuaga, Hayono Isman.

    Dari 38 Kabinet yang pernah ada di NKRI ini, Mr. A.A. Maramis membuka kartu Tou Minahasa, yaitu pada saat Indonesia diproklamirkan. Ia menjadi Menteri Keuangan RI sebanyak empat kali dan sekali menjadi Menteri Luar Negeri saat pembentukan Kabinet Darurat PDRI pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera.

    Ir. Herling Laoh menjadi Menteri Pekerjaan Umum sebanyak enam kali tahun 1946-1950. Bahkan pada Kabinet Hatta II, sahabat Soekarno ini menjabat dua jabatan menteri sekaligus yaitu merangkap Menteri Perhubungan. Arnold Mononutu menjadi Menteri Penerangan sebanyak tiga kali antara tahun 1949-1953. Ada juga kakak kandung Ir. Laoh yaitu Frits H. Laoh. Ahli ekonomi ini menjadi Menteri Perhubungan tahun 1955. Ada juga Frans Ferdinand Umbas. Nyong Umbas, begitulah biasa ia disapa, pernah menjadi Menteri muda Perekonomian pada tahun 1956-1957 mewakili Parkindo.

    Gustaaf A. Maengkom menjadi Menteri Kehakiman pada masa Pergolakan Permesta dalam Kabinet Karya atau yang dikenal dengan Kabinet Djuanda. Dalam kabinet itu ada juga orang Minahasa lainnya yang diangkat sebagai Menteri Perindustrian, yaitu Ir. F.J. Inkiriwang.

    Ds W.J. Rumambi menjadi Menteri Penghubung Antar Lembaga Tinggi Negara yaitu MPR, DPR, DPA, Dewan Perancang Nasional, Front Nasional sebanyak lima kalisejak tahun 1960. Ia adalah satu-satunya pendeta yang pernah menjadi menteri. Bahkan ia menutup kariernya di jajaran menteri sebagai Menteri Penerangan tahun 1966.

    Ada juga Drs. Jan D. Massie sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta sebanyak dua kali tahun 1963-1966. Dalam Kabinet Seratus Menteri (Kabinet Dwikora) tahun 1966, ia juga menjadi Asisten Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, yaitu pejabat yang berkedudukan sebagai menteri.

    Ada juga pejabat yang berkedudukan sebagai menteri yaitu Hans A. Pandelaki, yang menjadi anggota BPK (Pemerikasa Keuangan Angung Muda) dalam Kabinet Seratus Menteri tahun 1964-1966. Terakhir menjadi Deputi Menteri Keuangan Urusan Anggaran, atau yang biasa disebut “Menteri Keuangan Urusan Moneter.”

    Masa Orde Baru ditutup dengan Theo Sambuaga sebagai Menteri Tenaga Kerja tahun 1997 sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998. Kemudian ia sempat diangkat sebagai Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Rakyat tahun 1998-1999.

    Sebenarnya ada menteri keturunan Minahasa yaitu Menteri Pemuda dan Olah Raga Hayono Isman. “Mar so ilang fam,” kata orang.

    Selama masa Negara Indonesia Timur yang walau efektifnya hanya 3 tahun lebih, ada tujuh Tou Minahasa pernah menjadi menteri di daerah “Timur Besar” ini. Mereka adalah Prof. Dr. S.J. Warouw, E. Katoppo, Ir. F.J. Inkiriwang, Ir. E.D. Dengah, G.R. Pantouw, Drh W.J. Ratulangi, Henk Rondonuwu.

    Prof Dr. S.J. Warouw sendiri menjadi Menteri Kesehatan NIT pertama sampai keempat. Malah pada periode ketiga ia menjadi Perdana Menteri NIT. Guru E. Katoppo, ayah sastrawan Marianne Katoppo dan wartawan Aristides Katoppo ini menjadi Menteri Pendidikan sampai empat kali berturut semenjak kabinet pertama NIT. Ir E.D. Dengah (Mais) menjadi Menteri Perhubungan dan Pekerjaan Umum. G.Rudolf Pantouw (Udo’) menjadi Menteri Penerangan NIT pertama dan Menteri Sosial pada Kabinet NIT kedua. Menteri Sosial NIT sejak Desember 1947 adalah Mr. S.S. Pelengkahu. Drh. Willem J. Ratulangi pun menjadi Menteri Penerangan NIT keenam. Henk Rondonuwu menjadi Menteri Penerangan NIT terakhir tahun 1950. Terakhir Ir. F.J. Inkiriwang menjadi Menteri Pendidikan merangkap Menteri Kesehatan NIT pada Kabinet Likuidasi NIT tahun 1950, yaitu masa transisi menuju NKRI. Kariernya sebagai menteri dipegangnya kembali tahun 1957 dalam kabinet RI.

    Daftar Bacaan:
    1. Katoppo, Aristides, dkk, Ds. W.J. Rumambi – Setelah Fajar Merekah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1994
    2. Majalah Cakrawala No. 3 Tahun I Desember 1997
    3. Nalenan, R., Arnold Mononutu – Potret Seorang Patriot, Pustaka Jaya, Jakarta 1982
    4. PB POR Maesa, Maesa – Sejarah 80 Tahun POR Maesa, Jakarta 2004
    5. Talumewo, Bodewyn, Personalia Kawanua (Tou Minahasa) dalam Kabinet Negara RI 1945-2010, brosur, Tomohon 2006

    Lampiran:
    Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet RI:

    1. Mr. Alex Andries Maramis (Tondano)
    2. Ir. Herling Laoh (Sonder)
    3. Frits Laoh (Sonder)
    4. Mr. Arnold I.Z. Mononutu (Tonsea/Minut)
    5. Frans F. (Nyong) Umbas (Kawangkoan)
    6. Gustaaf A. (Utu’) Maengkom (Tondano)
    7. Ir. Fred J. Inkiriwang (Kakas)
    8. Ds. W.J. (Wim) Rumambi (Kakas – Tondano)
    9. Drs. J.D. Massie (Langowan)
    10. H.A. Pandelaki (Tomohon)
    11. Drs. Theo Leo Sambuaga
    12. Jenderal TNI. Try Soetrisno (Tompaso – Kawangkoan)
    13. Hayono Isman (Remboken)

    Kabinet-kabinet RI:1.Kabinet Presidentil (19 Agustus 1945-14 November 1945)
    Menteri Negara Mr. Alex Andries Maramis (sejak 25 September 1945 menjadi Menteri Keuangan ke-2 karena Dr. Samsi berhenti sebagai Menkeu sejak tanggal 26 Sept. 1945)2.Kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946)3.Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946- 2 Oktober 1946)
    Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. Herling Laoh (PNI)4.Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947)
    Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)5.Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947)
    Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)
    Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI) (Jabatan Menmud PU ditiadakan saat Ir. H.Laoh menjadi Menteri Pekerjaan Umum pada 11 Agustus 1947, mengganti Moh. Enoch yang berhenti sebagai Menteri PU)6.Kabinet Amir Sjarifuddin II (sesudah reshuffling, 11 November 1947-29 Januari 1948)
    Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)
    Menteri Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)7.Kabinet Hatta I/Presidentil Kabinet (29 Januari 1948-4 Agustus 1949)
    Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)8.Kabinet Darurat/PDRI di Sumatera (19 Desember 1948-13 Juli 1949)
    Menteri Luar Negeri Mr. A.A. Maramis (di India)9.Kabinet Hatta II/Presidentil Kabinet (4 Agustus 1949-20 Desember 1949)
    Menteri Perhubungan Ir. H. Laoh (PNI), merangkap
    Menteri Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)10.Kabinet RIS (Pertama & Terakhir) (20 Desember 1949-6 September 1950)
    Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)
    Menteri Perhubungan Tenaga/Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)11.Kabinet Susanto (Kabinet RI Yogya) (20 Desember 1949-21 Januari 1950)12.Kabinet Halim (Republik Indonesia Yogya) (21 Januari 1950-6 September 1950)13.Kabinet Natsir (Kabinet RI Kesatuan Pertama & Kabinet selanjutnya merupakan Kabinet RI Kesatuan) (6 September 1950-27 April 1951)14.Kabinet Sukiman – Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952)
    Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)15.Kabinet Wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953)
    Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)16.Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)17.Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956)
    Menteri Perhubungan Frits Laoh (PRN)
    18.Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957)
    Menteri Muda Perekonomian Frans I. (Nyong) Umbas (Parkindo)19.Kabinet Karya (Kabinet Djuanda) (9 April 1957-10 Juli 1959) (Zaken Kabinet)
    Menteri Kehakiman Gustaaf A. (Utu’) Maengkom
    Menteri Perindustrian Ir. Fred J. Inkiriwang20.Kabinet Kerja (10 Juli 1959-18 Februari 1960)
    Menteri Muda Penghubung MPR/DPR Ds.W.J. Rumambi (Parkindo)21.Kabinet Kerja II (18 Agustus 1960-6 Maret 1962)
    Menteri Penghubung DPR & MPR Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)22.Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 November 1963)
    Menteri Penghubung DPR/MPR/DPA/Depernas Ds.W.J.Rumambi23.Kabinet Kerja IV (13 November 1963-27 Agustus 1964)
    Menteri Urusan Penertiban Bank & Modal Swasta J.D. Massie
    (sejak 1 Agustus 1964 mengganti Dr. Suharto yang dibebaskan dari jabatan tersebut)
    Menteri Penghubung MPRS/DPR/DPA Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)24.Kabinet Dwikora (Kabinet Seratus Menteri) (27 Agustus 1964-28 Maret 1966)
    Menteri Urusan Penertiban Bank & Usaha Modal J.D. Massie
    Menteri Penghub. MPR/DPR/DPA/Front Nasional W.J. Rumambi
    Pemeriksa Keuangan Agung Muda/Anggota BPK a.l. H.A.Pandelaki (pejabat yang berkedudukan sebagai menteri)25.Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi (28 Maret 1966-25 Juli 1966)
    Menteri Penerangan Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)
    Deputi Menteri Keuangan Urusan Anggaran H. Pandelaki
    Asisten Waperdam bidang Ekonomi antara lain J.D. Massie26.Kabinet Ampera (25 Juli 1966-17 Oktober 1967)27.Kabinet Ampera yang Disempurnakan (11 Oktober 1967-6 Juni 1968)28.Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968-27 Maret 1973)29.Kabinet Pembangunan II (27 Maret 1973-24 Maret 1978)30.Kabinet Pembangunan III (24 Maret 1978-16 Maret 1983)31.Kabinet Pembangunan IV (6 Maret 1983-21 Maret 1988)32.Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988-Maret 1993)33.Kabinet Pembangunan VI (Maret 1993-Maret 1997)
    Menteri Pemuda & Olah Raga Hayono Isman (Golkar)34.Kabinet Pembangunan VII (Maret 1997-Mei 1998)
    Menteri Tenaga Kerja Drs. Theo Leo Sambuaga (Golkar)35.Kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999) pimpinan Presiden Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie
    Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Rakyat Drs.Theo L. Sambuaga (Golkar)36.Kabinet Persatuan Nasional (Oktober 1999-Juli 2001) pimpinan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)37.Kabinet Gotong Royong (Juli 2001-Oktober 2004) pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri38.Kabinet Indonesia Bersatu (Oktober 2005-2010) pimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
    KABINET NEGARA INDONESIA TIMUR (NIT) DAN PARA TOKOH KAWANUA MINAHASA YANG DUDUK DI DALAMNYA

    Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet NIT:
    1.Dr. S.J. Warouw
    2.E. Katoppo
    3.G.R. Pantouw (Udo)
    4.E.D. Dengah (Mais)
    5.Mr. S.S. Pelengkahu
    6.Dr. W.J. Ratulangi
    7.Henk Rondonuwu
    8.Ir. F.J. Inkiriwang (Fred)

    Kabinet-kabinet NIT:1.Kabinet pertama NIT (Kabinet Nadjamuddin Pertama) 1947 (diumumkan pada tanggal 10 Januari 1947)
    Perdana Menteri Nadjamuddin Daeng Malewa
    Menteri Pengadjaran E. Katoppo (Inspektur Sekolah Rakjat, Menado)
    Menteri Kesehatan G.R. Pantouw, Makassar
    Menteri Penerangan Dr. S.J. Warouw (Gouvernementsarts b/d D.V.G., Menado)
    Menteri Lalu-lintas dan Perairan E.D. Dengah (Ketua Dewan Minahasa, Menado2.Kabinet kedua NIT (Kabinet Nadjamuddin Kedua) 1947 (sampai 20 September 1947)
    Perdana Menteri Nadjamuddin Daeng Malewa
    Menteri Pengadjaran E. Katoppo
    Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw
    Menteri Sosial E.D. Dengah3.Kabinet ketiga NIT (Kabinet Warouw) 1947 (11 Oktober 1947 – 9 Desember 1947)
    Perdana Menteri merangkap Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw
    Menteri Pengajaran E. Katoppo4.Kabinet keempat NIT (Kabinet Anak Agung Pertama) 1947-1948 (15 Desember 1947 – Desember 1948)
    Perdana Menteri Ide Anak Agung Gde Agung
    Menteri Pengajaran E. Katoppo
    Menteri Kesosialan Mr. S.S. Pelengkahu
    Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw5.Kabinet Kelima NIT (Kabinet Anak Agung kedua) 1949 (12 Januari 1949 – 26 Desember 1949)
    Perdana Menteri Ide Anak Agung Gde Agung6.Kabinet Keenam NIT (Kabinet Tatengkeng) 1949-1950 (26 Desember 1949 – 13 Maret 1950)
    Perdana Menteri Jan Engelbert Tatengkeng7.Kabinet Ketujuh NIT (Kabinet Kabinet Putuhena) Maret 1950 (3 Maret 1950 – 10 Mei 1950)
    Perdana Menteri Ir. Putuhena
    Menteri Penerangan Drh. W.J. Ratulangi8.Kabinet Likuidasi NIT (Kabinet Likuidasi NIT) Mei 1950 (sejak10 Mei 1950)
    Perdana Menteri Ir. Putuhena
    Menteri Penerangan Henk Rondonuwu
    Menteri Pendidikan merangkap Menteri Kesehatan Ir. F.J. Inkiriwang


    Sumber 

    Resensi buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) oleh J.G.F. Riedel diterbitkan di Batavia tahun 1862.

    Resensi buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) oleh J.G.F. Riedel diterbitkan di Batavia tahun 1862.


    Resensi buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) oleh J.G.F. Riedel diterbitkan di Batavia tahun 1862.
    Buku setebal 55 halaman ini dikarang oleh Johan Gerhard Frederich Riedel. Ia adalah anak tertua dari penginjil J.F. Riedel yang datang di Tanah Minahasa bersama-sama dengan J.G. Schwarz pada tahun 1831. Latar belakang J.G.F. Riedel ini dapat menjadi salah satu catatan tersendiri bagi para pembaca buku ini. Ia lahir di Tondano pada tahun 1832. Ia juga besar di Tanah Minahasa sehingga tidak perlu heran bila ia mengerti betul tentang daerah ini. Setelah dewasa ia menjadi Controleur Minahasa kemudian menjadi Assistant Resident di Gorontalo, terakhir menjadi Resident Ambon.
    Buku sejarah ini menjadi sumber utama dari buku-buku dan tulisan pada masa itu sampai sekarang. Dapat disimpulkan bahwa buku ini bersumber dari penuturan tua-tua kampung dari masa kecilnya sampai pada waktu ia menjadi pejabat penting di Minahasa dan Keresidenan Manado pada umumnya.

    Buku ini dapat anda simak tanpa harus menggunakan kamus bahasa karena ditulis dalam bahasa Melayu Abad ke-19, yaitu lingua-franca di pelosok Nusantara saat itu, sehingga masih dapat anda pahami. Coba baca judul bab pertamanya: “Deri Pada Permulaan Bangsa-bangsa Minahasa Sampej Pada Harij Pembahagijan Fosoh Atawa Pahawetengan Nuwuh Itu”. Buku ini lebih merupakan ringkasan sejarah Minahasa karena isi buku ini banyak mencatat tentang peristiwa daerah-daerah (walak dan sebagainya) dengan nama-nama pelakunya.
    Isi buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, pertama dari permulaan bangsa Minahasa sampai pada masa pembagian foso atau pahawetengan nuwu di Batu Pinawetengan, kedua dari pembagian foso sampai pada masa permulaan peperangan orang Bolaang Mongondow dan ketiga dari permulaan peperangan orang Bolaang Mongondow sampai pada masa kedatangan orang kulit putih yaitu sampai masa Belanda.

    Data Buku
    Judul buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa)
    Penulis : J.G.F. Riedel
    Tahun : 1862
    Jumlah halaman : 55 halaman.


    (Bodewyn Grey Talumewo)
     
    Sumber 

    GMIM MASA PERGOLAKAN PERMESTA


    Gerakan Perjuangan Semesta (disingkat Permesta) lahir tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, dengan Proklamasi dan Piagam Perjuangan Semestanya. Dalam proklamasi yang ditandatangani Letkol Ventje Sumual ini disebutkan “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya ...,” dengan penegasan “... segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.”
    Gerakan ini memperjuangkan otonomi luas bagi daerah dengan komposisi untuk daerah surplus PAD adalah 70% dari pendapatan daerah untuk derah dan 30% untuk pemerintah pusat, sedangkan untuk daerah minus adalah 100% pendapatan daerah untuk daerah ditambah subsidi dari pemerintahan pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.

    Gerakan ini mendapat banyak tantangan dan hambatan dari Pusat, terutama PKI sehingga dengan terpaksa Permesta mengambil jalan yang dianggap terbaik, yaitu perang. Di sini berlakulah prinsip “civis pacem para bellum” (yang mencintai damai haruslah bersedia perang).

    Pada saat pergolakan Permesta bergejolak di daerah ini tahun 1958-1961, GMIM terpanggil, terus berseru serta mengajak kedua kubu (Pusat-Permesta) yang berseteru untuk segera menghentikan pertikaian. Saat Tentara Pusat mengadakan operasi penumpasan Permesta Badan Pekerja Sinode GMIM dalam sidang tanggal 12 Maret 1958 mencetuskan sebuah seruan yang bunyinya antara lain: “Tinggalkanlah dan hentikanlah jalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara antara kita dengan kita. Hentikan pemuntahan peluru dan granat di Kota Manado dan kota-kota lainnya yang telah menyebabkan tewasnya orang-orang tak berdosa. Usahakan penyelesaian pergolakan ini, ganti pedang dan tarik pesawat-pesawat pembom serta serangan-serangan yang seru dan hebat (membahana)." Seruan itu ditandatangani oleh Ketua Sinode Ds AZR Wenas dan Panitera (Sekretaris Umum) Pdt. PW Sambouw. Selain itu ditegaskan dalam seruan itu: "Sekali lagi kami tegaskan bahwa adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah daerah kita Minahasa dan daerah-daerah lain yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen akan mengisap darah dari anak-anaknya sendiri dan darah suku-suku yang lain di Indonesia karena perang saudara ini."

    Seruan yang dikeluarkan sekitar dua pekan setelah terjadinya pemboman di Manado dan Tomohon, tanggal 22 Februari 1958 ini ditujukan kepada sekitar 400.000 jiwa warga Kristen yang dipimpin oleh GMIM, yang tersebar di Tanah Minahasa, daerah pekabaran injil GMIM di Bolmong sampai Sulteng saat itu. Badan Pekerja Sinode GMIM juga menyusun seruan kepada pemerintah tanggal 12 Maret dan 28 Juni 1958.

    Seruan Ds. Wenas diajukan lagi di Radio Permesta di Manado bulan April 1958 sebanyak dua kali yang mana menyerukan agar sengketa Pusat dan Daerah diselesaikan melalui musyawarah. Tanggal 5 Mei 1958 BPS GMIM menyerukan supaya di jemaat-jemaat diadakan doa syafaat untuk kesembuhan Negara dengan nats pembimbing II Tawarikh 7:14. Usaha-usaha perdamaian GMIM ini kemudian dianjurkan supaya diikuti juga oleh Gereja-gereja lain baik di Minahasa maupun di luar Minahasa.

    Saat TNI mendarat di Kema pada 16 Juni 1958, BPS GMIM kembali mengeluarkan seruan yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat, PRRI/Permesta serta kepada seluruh warga GMIM. Seruan itu dikeluarkan setelah mendengar dan menyaksikan bahwa pertempuran dan perang saudara antara anak dan orang tua mulai meluas terutama dari kawasan Kema ke Manado dan Tondano. Dalam seruan yang juga ditandatangani Ketua dan Panitera BPS GMIM diawali nats Mazmur 130:1,2. Seruan ini juga mengungkapkan: Sinode GMIM masih tetap berseru-seru minta dihentikannya perang setelah memperhatikan semakin banyak korban jiwa dan harta benda dan jatuhnya korban jiwa manusia yang besar sekarang ini belum pernah terjadi di Tanah Minahasa sebelumnya. Bahwa pengorbanan dan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit resmi, anak-anak muda dan tentara pelajar serta rakyat jelata di desa dan penyingkiran tidak mungkin bisa dipertanggungjawabkan. Ini membangkitkan murka Tuhan Allah kita dalam Jesus Kristus." Sarana dan prasarana GMIM memang kena imbas, kendaraan-kendaraan diambil oleh TNI sehingga Ds AZR Wenas mengunjungi jemaat-jemaat dengan menunggang kuda. Nanti setelah setahun kemudian pada bulan Mei 1959 barulah hubungan-hubungan menjadi lancar karena kendaraan-kendaraan GMIM dikembalikan tentara.

    Selama periode Pergolakan Permesta ini, GMIM berada pada masa “sial dan malang, genting dan berbahaya”, namun selama itu pula GMIM diuji. Akibatnya GMIM lebih dihargai oleh masyarakat di Minahasa dengan mengecualikan penganut paham komunis. Anggota-anggota jemaat, Majelis Gereja, pengantar-pengantar jemaat mengungsi ke kebun-kebun dan hutan-hutan. Jika banyak pendetta di antaranya anggota-anggota Badan Pekerja Sinode telah mengungsi bersama anggota jemaat, maka Ds AZR Wenas tinggal tetap di rumah kediamannya yang terletak di samping kantor Sinode di Tomohon. Para zendeling/misionaris dari Belanda dan Amerika harus menyingkir dari GMIM karena keadaan ini. Sekalipun demikian, GMIM tetap melayani anggota-anggotanya baik di daerah yang dikuasai Tentara Pusat maupun daerah yang dikuasai Permesta. Jalan-jalan raya menjadi rawan karena menjadi sarana pencegatan oleh pihak Permesta. Untuk bepergian, harus diadakan surat pas/ijin, baik di daerah yang sudah dibebaskan TNI maupun di kalangan Permesta sendiri.

    Dalam periode pergolakan Permesta ini juga terbentuk dua kekuatan, yaitu pemerintahan militer dan sipil yang taat pada Pemerintah RI (Pusat) dan pemerintahan militer dan sipil yang taat pada PRRI dalam naungan Divisi Permesta. Dua kekuatan yang saling membinasakan ialah yang pro dan anti Permesta. Selama periode ini tenrata Pusat dan Tentara Permesta saling tembak, kejar-mengejar dan saling membom. Selain itu antar saudara saling bunuh, suami berpisah dengan keluarga bahkan tewas di medan tempur, saling curiga, saling menculik, pendidikan terbengkalai, penyakit merajalela karena kekurangan obat-obatan.

    Moral dan akhlak, kehidupan jasmaniah dan rohaniah saat itu berada di peringkat paling bawah dalam sejarah Minahasa modern. Beberapa orang bahkan bertindak kanibal, walau binatang dengan mudah didapat di hutan bahkan hewan-hewan peliharaan yang dibiarkan oleh para pemilik yang mengungsi.
    Selain itu, menguatnya kembali mistik di kalangan orang Kristen Minahasa dengan mewabahnya demam mistik. Kepercayaan terhadap kekuatan mistik Opo-opo, leluhur orang Minahasa yang sangat diyakini kembali mengental. Kekebalan tubuh terhadap bacokan atau tembakan senjata merupakan hal yang paling laris dalam situasi yang siap bertempur tersebut. Jimat-jimat tersebut ada yang berbentuk batu cincin, keris, sapu tangan, atau ikat pinggang jimat. Yang paling disukai dan dianggap hebat kesaktiannya adalah ikat pinggang jimat, berupa batu-batu kecil ataupun akar-akaran yang telah dibungkus dengan kain merah, beruas-ruas yang disebut Sambilang Buku (Sembilan Ruas). Selain itu ada jimat penghilang tubuh serta jimat terbang yang juga menjadi 'dagangan' laris saat itu. Ada juga jimat yang diberikan dalam bentuk air yang diminum atau dimandikan. Salah satu akibat utama dari mistik ini adalah banyak menimbulkan perpecahan bahkan lucut-melucuti senjata, serta kudeta kekuasaan di antara sesama pasukan. Hal ini merupakan kelemahan fatal bagi keutuhan dan kekuatan Permesta, sebab seorang bawahan yang merasa dirinya sakti, bisa saja melawan atasannya.

    Oleh karena itu GMIM merasa terpanggil untuk menyegarkan kembali makanan rohani warganya. Ketua Sinode Ds AZR Wenas kemudian menyusun renungan tanggal 31 Desember 1958 dan 1 Januari 1959 untuk dibacakan di radio tidak diucapkan karena tidak disetujui Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Tomohon (Pekuperda). Sekalipun demikian stensilannya dapat diterima oleh jemaat-jemaat sampai di hutan-hutan.

    Tercatat beberapa kali Ds Wenas ke Jakarta melaporkan kepada para pejabat terkait maupun warga Kawanua di sana untuk turut berperan mengatasi hal ini. Beberapa kali Ds Wenas menyurat bahkan bertemu langsung dengan Presiden Soekarno untuk melaporkan dan mencari penyelesaian. Sedikitnya tiga kali Ds Wenas menyurati Presiden Soekarno yakni tanggal 27 dan 28 Agustus serta tanggal 26 September 1959 guna mencari penyelesaian konflik itu.

    Pada sisi yang lain ia juga menjadi perantara untuk bertemu dan membahas permasalahan itu dengan tokoh-tokoh Permesta. Jadilah Ds Wenas sebagai kurir. Suatu waktu ia disuruh menemui Kolonel Joop Warouw di Remboken. Demikian juga dengan Kolonel Kawilarang di Desa Panglombian ataupun di Desa Tara-Tara. Dalam suasana yang sulit sekalipun Pelayan yang setia ini tetap sedia melaksanakan misinya meski harus berjalan kaki atau naik kuda sekalipun demi tercapai dan terciptanya perdamaian di daerah ini.

    Hal senada sebenarnya sudah disampaikan sejak Prsiden Soekarno hadir dan berpidato pada HUT Sinode GMIM, 30 September 1957 di Gereja Sion Tomohon. Ketika itu Permesta baru 6 bulan diproklamirkan. Alhasil, tanggal 14 April 1961 tokoh-tokoh kedua kubu yang bertikai menghadiri pertemuan yang diistilahkan sebagai "Penyelesaian" di Susupuan, yakni perbatasan Tomohon dengan Desa Woloan. Lagi-lagi GMIM yang bertindak selaku fasilitator mengerahkan sejumlah pekerjanya mempersiapkan lahan upacara pertemuan itu. Permesta diwakili Panglima Besar Alex Kawilarang dan Pemerintah Pusat oleh KASAD Jenderal Achmad Yani. "Penyelesaian" ini diawali dengan pertemuan pendahuluan perwakilan kedua kubu di Desa Lopana, Tumpaan pada 2 April 1961, dan kemudian ada pertemuan lagi antara Kawilarang-Nasution di rumah keluarga Hans Tular di Tomohon.

    Oleh Bodewyn Grey Talumewo

    Telah dipublikasikan di Majalah Fakultas Theologi UKIT "Inspirator" Edisi Maret-Mei 2007

    Sumber 

    Puisi dari John F Malonda

    John F Malonda
    Budayawan Bangsa Minahasa
    =============================================================
    KAWANUA
    oleh
    John F. Malonda


    Ou houuu
    oooi
    kawanua

    mengapa kamu goblok semua

    kamu tjakap
    kamu berbakat
    kamu pande
    deng mulu-tarabe

    yang laeng mo polo dunja
    mar Minahasa bukang kitong punya

    kawanua,
    galangkan satu persatuan
    kuburkan semua sentimen
    demi turun-temurun

    kalau tidak
    aku panggil semua dotu-moyang
    bikin kamu tergoncang

    manguni
    pelindung burung kecil
    itulah lambang
    kejayaan kita

    langkou
    si sapi-utan
    tidak kenal tubir dan jurang
    itulah sifat keberanianmu

    Kalawatan si babi-rusa
    kecil-rinda-penjelma-buas
    awas
    tidak bikinpatah gigi-bisa
    senjata-sendiri bunuh-diri-sendiri

    monyet ta berekor
    ditembak
    kena pelor
    ta' jatuh

    demi keselamatan
    rakyat melarat
    hati-hati main api
    kita mencetak sejarah

    opo Lumimuut
    berilah ilhammu
    untuk keselamatan kawanua
    anak-anak pangi.

    Dari buku Membuka Tudung Dinamika Filsafat purba Minahasa oleh J.F. Malonda tahun 1952
    NB:
    - Anak-pangi: anak Manado (istilah yang lahir masa perang revolusi kemerdekaan RI)
    - Ejaan ta pe mau sandiri mo ubah