Sabtu, 08 Desember 2012

Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa

Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa
oleh Bodewyn Grey Talumewo



P R O K L A M A S I
Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya, maka dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah Teritorial VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar Sementara, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik Indonesia.
Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidayatNya atas umatNya.-

Makassar, 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorial VII

Letkol. H.N.V. Sumual

Nrp. 15958


Demikian proklamasi Ventje Sumual, penguasa militer di Indonesia Timur, tanggal 2 Maret 1957 dini hari. Pembacaan proklamasi ini disusul dengan pembacaan Piagam Perjuangan Semesta oleh Letkol Saleh Lahade. Pada tahap selanjutnya gerakan ini lebih dikenal dengan gerakan Permesta. Permesta yang diprakarsai oleh pihak militer Indonesia Timur ini kemudian mendapat sambutan antusias dari masyarakat karena program-program yang dijalankannya sesuai dengan tuntutan rakyat daerah pada saat itu. Daerah komando militer dari TT-VII/Wirabuana saat itu meliputi seluruh Indonesia bagian Timur, yang mencakup Propinsi Sulawesi, Propinsi Maluku, Propinsi Sunda Kecil dan Propinsi Papua Barat yang saat itu masih dikuasai Belanda. Pada tanggal 20 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual mengumumkan pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi, dengan dua provinsi yang dibagi menjadi dua yaitu Provinsi Sulawesi (Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan) dan Sunda Kecil (Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

Negara Indonesia saat itu memang menghadapi masalah utama post war, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Pihak militer merasakan bahwa prajuritnya tidak sejahtera, tinggal di barak-barak peninggalan Belanda yang telah penuh bocor dan tidak bersekat antara satu keluarga prajurit dengan prajurit lain sehingga timbul masalah privasi, peralatan militer yang sebagian besar tidak optimal fungsinya, masalah perebutan Irian Barat dari tangan Belanda, masalah intern Angkatan Darat, dan sebagainya. Di pihak lain, masyarakat sipil juga menghadapi masalah kesejahteraan sosial.

Pembangunan di Indonesia Timur dianggap sebelah mata oleh Pusat (Jakarta). Jalan-jalan penuh lubang dan tidak beraspal, infrastruktur yang tidak memadai, hanya meminjam bangunan rakyat, dan lain sebagainya.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut: Biasanya anggaran pembelanjaan daerah tahunan dibuat dan dikirim pada setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan-potongan. Otorisasinya baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran yang berjalan dan biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian kembali akan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih. Demikian dari tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun-tahun menimpa daerah ini telah menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon-calon pengikut komunis (PKI) atau Darul Islam (barisan sakit hati) yang potensial.

Sulawesi Utaralah yang solider terhadap Permesta. Daerah Sulawesi Selatan tidak lagi antusias dengan Permesta sehingga Sulsel tidak dapat diharapkan lagi untuk menjadi basis Permesta. Pada bulan Juni 1957, setelah TT-VII/Wirabuana dibubarkan dan dipecah menjadi empat KODAM (Merdeka, Hasanuddin, Pattimura dan Udayana), maka golongan yang pro-Permesta yang pada umumnya anak Manado akhirnya membangun kekuatan di Manado untuk tujuan pembangunan daerah.

Salah satu proyek penting Permesta di daerah ini adalah pendirian Universitas Permesta tanggal 23 September 1957 di Sario Manado. Memang di daerah ini belum memiliki universitas milik pemerintah.

Tanggal 30 September 1957 Presiden Soekarno mengadakan kunjungan resmi di Universitas Permesta di Sario Manado kemudian berkunjung ke Tomohon untuk menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja Sion Tomohon. Di gereja Sion ia berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat dalam Injil Yohanes 1:1 (kelak, ucapan ini disitir oleh Permesta untuk menyerang paham komunis yang diperkenalkan oleh Soekarno sendiri dalam wujud pengesahan PKI). Setelah itu ia menghadiri jamuan makan di Kantor Sinode GMIM (kini berdiri Akper Bethesda). Kunjungan ini turut dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat, Mesir, Pakistan, Swedia serta tiga orang menteri RI.

Situasi dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta, sehingga peristiwa kedatangan Soekarno ini mendapatkan keuntungan tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta, menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah-sah saja oleh pemerintah pusat.

Tanggal 17 Februari 1958, dua hari setelah PRRI di Sumatera memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Permesta mengadakan rapat raksasa di lapangan Sario Manado dimana Letkol D.J. Somba mengumumkan pernyataan yang sangat pendek: “Rakyat Sulutteng termasuk militer solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah RI.”

Konsekuensinya adalah pemberontakan bersenjata. Ini dibuktikan tanggal 22 Januari dengan pernyataan perang bersenjata dari Pemerintah Pusat yang menjatuhkan beberapa bom di Manado. Mulai saat itu berlakulah slogan “civis pacem para bellum, yang mencintai damai haruslah bersedia perang”. Pihak Permesta berkata, “Lebih terhormat bangkit dan melawan, daripada mati di ujung peluru bangsa sendiri,” atau “Torang mungkin kalah di pertempuran, mar bukang di peperangan.”

Dukungan rakyat terhadap Permesta sendiri begitu besar hingga disebutkan “Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!”

Pada saat Tentara Pusat mengadakan operasi merebut semua daerah Permesta serta menjatuhkan beberapa selebaran, maka Permesta membalasnya dengan mengumumkan semboyan penggugah “Hanya kalau kering Danau Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru Tentara Djuanda dapat menginjakkan kakinya di Minahasa.”

Permesta kemudian membangun kekuatan militer dalam satuan divisi yang bernaung di bawah kendali Kabinet Revolusioner PRRI pimpinan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tandingan dari Kabinet Karya pimpinan Djuanda. Divisi Permesta sendiri merupakan bagian dari Angkatan Perang Revolusioner (APREV) PRRI dengan Panglima Besar Mayjen Revolusioner Alex E. Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) dipimpinan panglimanya Brigjen Revolusioner H.N. Ventje Sumual, serta Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dipimpin Komodor AUREV Petit Muharto Kartodirjo (asal Jawa). Pemerintahan sipil Permesta dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri (Waperdam) PRRI Kolonel Joop Warouw.
Pada tanggal 12 April 1958, tiga pesawat pertama yang diperbantukan dalam pertahanan udara PRRI (dalam AUREV) berupa pesawat B-26 Bomber diberangkatkan dari US Clarck Airfield di Filipina menuju Mapanget. Kemudian pemboman AUREV pertama kali dilakukan di Lapangan Mandai Makassar pukul 5:35-5:51 pagi hari. Sebetulnya pengeboman di LU Mandai Makassar sebenarnya akan menggunakan 2 pesawat pembom B-26. Namun pesawat yang satunya, yang dikendalikan oleh penerbang berkebangsaan AS jatuh setelah mengadakan take off dari LU Mapanget. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya 2 pilot AS, dan seorang serdadu telegrafis Permesta. Pengeboman selanjutnya dilakukan di Balikpapan (4x yaitu 16 April, 22 April, 28 April dan 19 Mei), Ambon dengan lapangan udara Pattimuranya (7x, mulai 27 April, 28 April, 1 Mei, 8 Mei, 15 Mei, 18 Mei), Ternate (5x), Morotai (3x), Bitung, pelabuhan Palu-Donggala-Balikpapan (16 dan 20 April), Gorontalo, dan lain-lain.

Untuk melumpuhkan Jakarta, Permesta mengadakan “Operasi Djakarta II" di bawah komando Panglima KDP II/Minahasa Letkol D.J. Somba. Rencana ofensif secara bertahap terhadap ibukota RI Jakarta ini dibekali dengan persediaan senjata dan amunisi untuk satu divisi dan tenaga-tenaga prajurit yang cukup militan dalam latihan, serta air-cover (perlindungan udara) dari pesawat AUREV. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut: Pertama, merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat, dari sana menyerang & menduduki Balikpapan dengan kekuatan 1 resimen RTP, sasaran kedua adalah Bali, sasaran ketiga adalah Pontianak, sasaran terakhir adalah menyeberang ke Jawa untuk selanjutnya menyerbu Jakarta. Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat di Jakarta agar berunding dengan PRRI. Namun operasi ini gagal akibat tanggal 15 Mei 1958 sejumlah besar pesawat AUREV dihancurkan AURI di Mapanget, Tasuka/Kalawiran serta tertangkapnya Allan Pope, agen CIA yang membantu Permesta sebagai pilot AUREV.
Tanggal 16 Juni 1958 dilakukan pendaratan pertama kali Tentara Pusat secara besar-besaran di pantai Kema Minahasa dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol. Roekmito Hendraningrat berkekuatan 4.000 tentara gabungan APRI/TNI. Tanggal 26 Juni kota Manado jatuh ke tangan Tentara Pusat. Tanggal 21 Juli Tondano jatuh menyusul kejatuhan Tomohon, pusat kekuatan Permesta saat itu, pada tanggal 16 Agustus akibat pengkhianatan Mayor Mongdong. Dengan kejatuhan Tomohon ini, kota-kota kecil di selatan dengan mudah direbut Tentara Pusat. Memang Permesta sempat mengadakan serangan umum besar-besaran serentak di Minahasa, yang diberi nama "Operation Djakarta Special One" pada tanggal 17 Februari 1959, namun usaha ini kurang berhasil.

Perundingan-perundingan perdamaian antara Permesta dan Pemerintah RI diadakan secara terselubung. Broer Tumbelaka melakukan pendekatan dengan Permesta atas nama Pemerintah Pusat. Usaha ini berhasil sehingga pada 4 April 1961 diadakanlah upacara perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat di Malenos Baru – Amurang (saat itu masih berupa hutan jati). D.J. Somba selaku Komandan KDM-SUT prapergolakan bersenjata membacakan pernyataan bahwa Permesta “kembali ke pangkuan ibu pertiwi.” Pada tanggal 14 April 1961 diadakan upacara defile "Penyelesaian" secara resmi yang diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan.

Sebagai hasil penyelesaian Pemerintah Pusat di Jakarta dengan Alex Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 di antaranya anggota militer, serta 8.000 di antaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 di antaranya dari KDM-SUT, dan 9.000 bekas anggota KNIL (1.000 diantaranya sudah pensiun). Jumlah Pasukan Wanita Permesta (PWP) yang menyerahkan diri saat itu adalah 1.502 orang.

Perang Pergolakan Permesta ini menimbulkan duka bagi orang Minahasa. Dalam perang tahun 1958-1961, Pergolakan Permesta memakan sekitar 15.000 nyawa melayang. Selain itu ada 394 desa di seluruh Sulutteng musnah dibakar, puluhan ibukota kecamatan dan satu ibukota kabupaten (Kotamobagu) musnah dibakar. Namun, dalam tempo sebulan sesudah perdamaian, pengungsi mulai turun ke kampung memperbaiki rumahnya. Sebagai contoh, penduduk Kakaskasen langsung mendirikan 600 pondok, rumah, sekolah darurat dan balai pengobatan di antara puing-puing kampungnya.

Rakyat memang merupakan korban utama dari perang saudara ini. Ada 27.000 kepala keluarga atau seperempat dari total penduduk Minahasa yang kehilangan tempat tinggalnya akibat menyingkir ke pedalaman, kebun, sabuah, dan lain-lain.

Menurut keterangan KSAD A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan bahwa rata-rata tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI, sehingga diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sekitar 5.500 orang. Dalam catatan pemerintah, Peristiwa Permesta ini memakan korban 10.150 orang dari pihak RI tewas (2.499 prajurit, 956 anggota OPR atau hansip, 274 polisi dan 5.592 penduduk sipil). Sedangkan di pihak PRRI/Permesta, ada 22.174 yang tewas.



Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar