Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa
oleh Bodewyn Grey Talumewo
P R O K L A M A S I
Demi
keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan
Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian
Timur pada khususnya, maka dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah
Teritorial VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya
pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar
Sementara, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik
Indonesia.
Segala
peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari
Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidayatNya atas umatNya.-
Makassar, 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorial VII
Letkol. H.N.V. Sumual
Nrp. 15958
Demikian proklamasi Ventje Sumual,
penguasa militer di Indonesia Timur, tanggal 2 Maret 1957 dini hari.
Pembacaan proklamasi ini disusul dengan pembacaan Piagam Perjuangan
Semesta oleh Letkol Saleh Lahade. Pada tahap selanjutnya gerakan ini
lebih dikenal dengan gerakan Permesta. Permesta yang diprakarsai oleh
pihak militer Indonesia Timur ini kemudian mendapat sambutan antusias
dari masyarakat karena program-program yang dijalankannya sesuai dengan
tuntutan rakyat daerah pada saat itu. Daerah komando militer dari
TT-VII/Wirabuana saat itu meliputi seluruh Indonesia bagian Timur, yang
mencakup Propinsi Sulawesi, Propinsi Maluku, Propinsi Sunda Kecil dan
Propinsi Papua Barat yang saat itu masih dikuasai Belanda. Pada tanggal
20 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual mengumumkan pembagian wilayah TT-VII/
Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi, dengan dua provinsi yang
dibagi menjadi dua yaitu Provinsi Sulawesi (Propinsi Sulawesi Utara dan
Sulawesi Selatan) dan Sunda Kecil (Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur).
Negara Indonesia saat itu memang menghadapi masalah utama post war,
yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Pihak militer merasakan bahwa
prajuritnya tidak sejahtera, tinggal di barak-barak peninggalan Belanda
yang telah penuh bocor dan tidak bersekat antara satu keluarga prajurit
dengan prajurit lain sehingga timbul masalah privasi, peralatan militer
yang sebagian besar tidak optimal fungsinya, masalah perebutan Irian
Barat dari tangan Belanda, masalah intern Angkatan Darat, dan
sebagainya. Di pihak lain, masyarakat sipil juga menghadapi masalah
kesejahteraan sosial.
Pembangunan
di Indonesia Timur dianggap sebelah mata oleh Pusat (Jakarta).
Jalan-jalan penuh lubang dan tidak beraspal, infrastruktur yang tidak
memadai, hanya meminjam bangunan rakyat, dan lain sebagainya.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut:
Biasanya anggaran pembelanjaan daerah tahunan dibuat dan dikirim pada
setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut
setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan-potongan. Otorisasinya
baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran yang berjalan dan
biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober
dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak
mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal
tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian
kembali akan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan
keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih. Demikian dari
tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat
kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya
pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang
dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf
hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun-tahun menimpa daerah ini telah
menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon-calon pengikut
komunis (PKI) atau Darul Islam (barisan sakit hati) yang potensial.
Sulawesi
Utaralah yang solider terhadap Permesta. Daerah Sulawesi Selatan tidak
lagi antusias dengan Permesta sehingga Sulsel tidak dapat diharapkan
lagi untuk menjadi basis Permesta. Pada bulan
Juni 1957, setelah TT-VII/Wirabuana dibubarkan dan dipecah menjadi empat
KODAM (Merdeka, Hasanuddin, Pattimura dan Udayana), maka golongan yang
pro-Permesta yang pada umumnya anak Manado akhirnya membangun kekuatan
di Manado untuk tujuan pembangunan daerah.
Salah
satu proyek penting Permesta di daerah ini adalah pendirian Universitas
Permesta tanggal 23 September 1957 di Sario Manado. Memang di daerah
ini belum memiliki universitas milik pemerintah.
Tanggal
30 September 1957 Presiden Soekarno mengadakan kunjungan resmi di
Universitas Permesta di Sario Manado kemudian berkunjung ke Tomohon
untuk menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja Sion Tomohon.
Di gereja Sion ia berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama
Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat
dalam Injil Yohanes 1:1 (kelak, ucapan ini disitir oleh Permesta untuk
menyerang paham komunis yang diperkenalkan oleh Soekarno sendiri dalam
wujud pengesahan PKI). Setelah itu ia menghadiri jamuan makan di Kantor
Sinode GMIM (kini berdiri Akper Bethesda). Kunjungan ini turut dihadiri
oleh Duta Besar Amerika Serikat, Mesir, Pakistan, Swedia serta tiga
orang menteri RI.
Situasi
dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta,
sehingga peristiwa kedatangan Soekarno ini mendapatkan keuntungan
tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta,
menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah
sah-sah saja oleh pemerintah pusat.
Tanggal 17 Februari 1958, dua hari setelah PRRI di Sumatera memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Permesta
mengadakan rapat raksasa di lapangan Sario Manado dimana Letkol D.J.
Somba mengumumkan pernyataan yang sangat pendek: “Rakyat Sulutteng
termasuk militer solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan
dengan pemerintah RI.”
Konsekuensinya adalah pemberontakan bersenjata.
Ini dibuktikan tanggal 22 Januari dengan pernyataan perang bersenjata
dari Pemerintah Pusat yang menjatuhkan beberapa bom di Manado. Mulai
saat itu berlakulah slogan “civis pacem para bellum, yang mencintai
damai haruslah bersedia perang”. Pihak Permesta berkata, “Lebih
terhormat bangkit dan melawan, daripada mati di ujung peluru bangsa
sendiri,” atau “Torang mungkin kalah di pertempuran, mar bukang di
peperangan.”
Dukungan rakyat terhadap Permesta sendiri begitu besar hingga disebutkan “Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!”
Pada
saat Tentara Pusat mengadakan operasi merebut semua daerah Permesta
serta menjatuhkan beberapa selebaran, maka Permesta membalasnya
dengan mengumumkan semboyan penggugah “Hanya kalau kering Danau
Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru Tentara Djuanda
dapat menginjakkan kakinya di Minahasa.”
Permesta
kemudian membangun kekuatan militer dalam satuan divisi yang bernaung
di bawah kendali Kabinet Revolusioner PRRI pimpinan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, tandingan dari Kabinet Karya pimpinan Djuanda. Divisi
Permesta sendiri merupakan bagian dari Angkatan Perang Revolusioner
(APREV) PRRI dengan Panglima Besar Mayjen Revolusioner Alex E.
Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) dipimpinan
panglimanya Brigjen Revolusioner H.N. Ventje Sumual, serta Angkatan
Udara Revolusioner (AUREV) dipimpin Komodor AUREV Petit Muharto
Kartodirjo (asal Jawa). Pemerintahan sipil Permesta dipimpin oleh Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) PRRI Kolonel Joop Warouw.
Pada tanggal 12
April 1958, tiga pesawat pertama yang diperbantukan dalam pertahanan
udara PRRI (dalam AUREV) berupa pesawat B-26 Bomber diberangkatkan dari
US Clarck Airfield di Filipina menuju Mapanget. Kemudian pemboman AUREV
pertama kali dilakukan di Lapangan Mandai Makassar pukul 5:35-5:51 pagi
hari. Sebetulnya pengeboman di LU Mandai Makassar sebenarnya akan
menggunakan 2 pesawat pembom B-26. Namun pesawat yang satunya, yang
dikendalikan oleh penerbang berkebangsaan AS jatuh setelah mengadakan
take off dari LU Mapanget. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya 2 pilot
AS, dan seorang serdadu telegrafis Permesta. Pengeboman selanjutnya
dilakukan di Balikpapan (4x yaitu 16 April, 22 April, 28 April dan 19
Mei), Ambon dengan lapangan udara Pattimuranya (7x, mulai 27 April, 28
April, 1 Mei, 8 Mei, 15 Mei, 18 Mei), Ternate (5x), Morotai (3x),
Bitung, pelabuhan Palu-Donggala-Balikpapan (16 dan 20 April), Gorontalo,
dan lain-lain.
Untuk
melumpuhkan Jakarta, Permesta mengadakan “Operasi Djakarta II" di bawah
komando Panglima KDP II/Minahasa Letkol D.J. Somba. Rencana ofensif
secara bertahap terhadap ibukota RI Jakarta ini dibekali dengan
persediaan senjata dan amunisi untuk satu divisi dan tenaga-tenaga
prajurit yang cukup militan dalam latihan, serta air-cover (perlindungan
udara) dari pesawat AUREV. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah
sebagai berikut: Pertama, merebut kembali daerah Palu/Donggala yang
telah dikuasai Tentara pusat, dari sana menyerang & menduduki
Balikpapan dengan kekuatan 1 resimen RTP, sasaran kedua adalah Bali,
sasaran ketiga adalah Pontianak, sasaran terakhir adalah menyeberang ke
Jawa untuk selanjutnya menyerbu Jakarta. Operasi ini bertujuan untuk
menekan Pemerintah Pusat di Jakarta agar berunding dengan PRRI. Namun
operasi ini gagal akibat tanggal 15 Mei 1958 sejumlah besar pesawat
AUREV dihancurkan AURI di Mapanget, Tasuka/Kalawiran serta tertangkapnya
Allan Pope, agen CIA yang membantu Permesta sebagai pilot AUREV.
Tanggal
16 Juni 1958 dilakukan pendaratan pertama kali Tentara Pusat secara
besar-besaran di pantai Kema Minahasa dengan nama Operasi Merdeka di
bawah pimpinan Letkol. Roekmito Hendraningrat berkekuatan 4.000 tentara
gabungan APRI/TNI. Tanggal 26 Juni kota Manado jatuh ke tangan Tentara
Pusat. Tanggal 21 Juli Tondano jatuh menyusul kejatuhan Tomohon, pusat
kekuatan Permesta saat itu, pada tanggal 16 Agustus akibat pengkhianatan
Mayor Mongdong. Dengan kejatuhan Tomohon ini, kota-kota kecil di
selatan dengan mudah direbut Tentara Pusat. Memang Permesta sempat
mengadakan serangan umum besar-besaran serentak di Minahasa, yang diberi
nama "Operation Djakarta Special One" pada tanggal 17 Februari 1959,
namun usaha ini kurang berhasil.
Perundingan-perundingan
perdamaian antara Permesta dan Pemerintah RI diadakan secara
terselubung. Broer Tumbelaka melakukan pendekatan dengan Permesta atas
nama Pemerintah Pusat. Usaha ini berhasil sehingga pada 4 April 1961
diadakanlah upacara perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat di Malenos
Baru – Amurang (saat itu masih berupa hutan jati). D.J. Somba selaku
Komandan KDM-SUT prapergolakan bersenjata membacakan pernyataan bahwa
Permesta “kembali ke pangkuan ibu pertiwi.” Pada tanggal 14 April 1961
diadakan upacara defile "Penyelesaian" secara resmi yang diadakan di
Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan.
Sebagai
hasil penyelesaian Pemerintah Pusat di Jakarta dengan Alex Kawilarang
dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 di antaranya anggota
militer, serta 8.000 di antaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan
mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota
TNI. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba
memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 di
antaranya dari KDM-SUT, dan 9.000 bekas anggota KNIL (1.000 diantaranya
sudah pensiun). Jumlah Pasukan Wanita Permesta (PWP) yang menyerahkan
diri saat itu adalah 1.502 orang.
Perang
Pergolakan Permesta ini menimbulkan duka bagi orang Minahasa. Dalam
perang tahun 1958-1961, Pergolakan Permesta memakan sekitar 15.000 nyawa
melayang. Selain itu ada 394 desa di seluruh Sulutteng musnah dibakar,
puluhan ibukota kecamatan dan satu ibukota kabupaten (Kotamobagu) musnah
dibakar. Namun, dalam tempo sebulan sesudah perdamaian, pengungsi mulai
turun ke kampung memperbaiki rumahnya. Sebagai contoh, penduduk
Kakaskasen langsung mendirikan 600 pondok, rumah, sekolah darurat dan
balai pengobatan di antara puing-puing kampungnya.
Rakyat memang
merupakan korban utama dari perang saudara ini. Ada 27.000 kepala
keluarga atau seperempat dari total penduduk Minahasa yang kehilangan
tempat tinggalnya akibat menyingkir ke pedalaman, kebun, sabuah, dan
lain-lain.
Menurut keterangan KSAD
A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang
jatuh dari pihak TNI. Dikatakan bahwa rata-rata tiap hari jatuh 5 orang
korban di pihak TNI, sehingga diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang
diderita Tentara Pusat sekitar 5.500 orang. Dalam catatan pemerintah,
Peristiwa Permesta ini memakan korban 10.150 orang dari pihak RI tewas
(2.499 prajurit, 956 anggota OPR atau hansip, 274 polisi dan 5.592
penduduk sipil). Sedangkan di pihak PRRI/Permesta, ada 22.174 yang
tewas.
0 komentar:
Posting Komentar