Minggu, 16 Desember 2012

Bagaimana Memahami Aturan Korupsi?

Dalam hukum di Indonesia ada sebuah istilah yang dikenal sebagai asas fiksi, yaitu asas yang menganggap setiap orang tahu suatu Undang-Undang yang telah diundangkan. Hal ini adalah ilmu dasar yang diajarkan disetiap fakultas hukum yang ada di Indonesia. Maka para pejabat tidak boleh berdalih atau berlindung dari kasus korupsi yang melilitnya dengan alasan tidak mengerti hukum, karena tindakan seperti itu tidak dapat ditolerir sedikitpun.
Alasan “tidak tahu” atau “tidak paham”, adalah alasan yang paling banyak dipakai oleh para terdakwa di Pengadilan Tipikor untuk menghindari tanggung-jawab hukum atas tindak pidana korupsi yang telah mereka lakukan. Biasanya alasan tersebut dipakai disaat mereka tersudut dan merasa tidak ada lagi alasan atau argumentasi hukum lain yang diangap bisa menguatkan pembelaan mereka dalam persidangan.
Sebagai pembelaan diri saat tersudut boleh saja terdakwa di Pengadilan Tipikor mengatakan tidak tahu. Namun, ada tiga alasan mengapa alasan “tidak tahu” atau “tidak paham” pelaku korupsi harus diabaikan. 
Pertama, dalam hukum pidana, ada azas yang menyatakan bahwa begitu suatu ketentuan hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen). Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum (ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man).
Kedua, delik (tindak pidana korupsi) juga bukan merupakan hal baru dalam hukum pidana kita. Usia UU Tipikor sudah lebih 13 tahun, sementara pasal-pasal di dalamnya sebelumnya juga sudah ada dalam KUHP yang sudah berumur lebih dari seratus tahun.
Ketiga, tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi biasanya adalah pejabat publik yang berpendidikan tinggi atau minimal SMA sehingga dapat dipastikan mengetahui aturan perundang-undangan yang berlaku secara umum, termasuk UU Tipikor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dituding tidak mengerti hukum, terkait pernyataannya di hadapan Gubernur seluruh Indonesia yang terkesan "membela" pejabat pemerintahan yang tersandung kasus korupsi. Praktisi hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sangatlah memprihatinkan. Sebab, selaku kepala negara, SBY seharusnya mendukung secara penuh langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh institusi yang berwenang.
Benarkah SBY sengaja berpura-pura tidak mengerti hukum untuk mengelabui rakyat, dengan maksud melindungi pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu yang tersandung kasus korupsi?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan negara wajib menyelamatkan pejabat yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi tapi salah dalam mengemban tugasnya . “Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi,” kata Presiden SBY dalam pidato memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dan Hari Hak Azasi Manusia Sedunia yang diselenggarakan di Istana Presiden, Jakarta, Senin (10 Desember 2012). 
Presiden SBY mengemukakan, sesuai analisisnya selama delapan tahun lebih ini, ada dua jenis korupsi yaitu: korupsi yang diniati oleh pelakunya, dan korupsi yang terjadi karena ketidakpahaman seorang pejabat bahwa yang dilakukan itu keliru dan itu terkategori korupsi. 

Untuk membekali setiap pejabat tentang pemahaman korupsi, Presiden SBY menurut rencana pada pertengahan Januari 2013 akan mengundang seluruh gubernur, bupati, walikota, penegak hukum, polisi,BPK,BPKP, PPATK, kejaksaan, dan pembuat undang-undang untuk bertemu dan menjelaskan seputar kebijakan dan larangan dan aturan korupsi.
"Jangan sampai kita hidup dalam ketakutan karena kurang jelasnya pemahaman kita semua meskipun tidak boleh dibaca ini permisif kepada para tindak pidana korupsi. Kita komit dan kita menjadikan itu (pemberantasan korupsi) sebagai prioritas," tandas Presiden SBY seperti dilansir www.setgab.go.id.
 


Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar