Dalam hukum di Indonesia ada sebuah istilah yang dikenal sebagai asas
fiksi, yaitu asas yang menganggap setiap orang tahu suatu Undang-Undang
yang telah diundangkan. Hal ini adalah ilmu dasar yang diajarkan
disetiap fakultas hukum yang ada di Indonesia. Maka para pejabat tidak
boleh berdalih atau berlindung dari kasus korupsi yang melilitnya dengan
alasan tidak mengerti hukum, karena tindakan seperti itu tidak dapat
ditolerir sedikitpun.
Alasan “tidak tahu” atau “tidak paham”, adalah alasan yang paling banyak
dipakai oleh para terdakwa di Pengadilan Tipikor untuk menghindari
tanggung-jawab hukum atas tindak pidana korupsi yang telah mereka
lakukan. Biasanya alasan tersebut dipakai disaat mereka tersudut dan
merasa tidak ada lagi alasan atau argumentasi hukum lain yang diangap
bisa menguatkan pembelaan mereka dalam persidangan.
Sebagai pembelaan diri saat tersudut boleh saja terdakwa di Pengadilan
Tipikor mengatakan tidak tahu. Namun, ada tiga alasan mengapa alasan
“tidak tahu” atau “tidak paham” pelaku korupsi harus diabaikan.
Pertama, dalam hukum pidana, ada azas yang menyatakan bahwa begitu suatu
ketentuan hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap
tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te
kennen). Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat dijadikan alasan
pemaaf atau membebaskan orang itu dari tuntutan hukum (ignorantia iuris
neminem excusat/ignorance of the law excuses no man).
Kedua, delik (tindak pidana korupsi) juga bukan merupakan hal baru dalam
hukum pidana kita. Usia UU Tipikor sudah lebih 13 tahun, sementara
pasal-pasal di dalamnya sebelumnya juga sudah ada dalam KUHP yang sudah
berumur lebih dari seratus tahun.
Ketiga, tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi biasanya adalah
pejabat publik yang berpendidikan tinggi atau minimal SMA sehingga dapat
dipastikan mengetahui aturan perundang-undangan yang berlaku secara
umum, termasuk UU Tipikor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dituding tidak mengerti hukum,
terkait pernyataannya di hadapan Gubernur seluruh Indonesia yang
terkesan "membela" pejabat pemerintahan yang tersandung kasus
korupsi. Praktisi hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa pernyataan
tersebut sangatlah memprihatinkan. Sebab, selaku kepala negara, SBY
seharusnya mendukung secara penuh langkah penegakan hukum yang dilakukan
oleh institusi yang berwenang.
Benarkah SBY sengaja berpura-pura tidak mengerti hukum untuk mengelabui
rakyat, dengan maksud melindungi pejabat-pejabat atau orang-orang
tertentu yang tersandung kasus korupsi?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan negara wajib
menyelamatkan pejabat yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi
tapi salah dalam mengemban tugasnya . “Jangan biarkan mereka dinyatakan
bersalah dalam tindak pidana korupsi,” kata Presiden SBY dalam pidato
memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dan Hari Hak Azasi Manusia
Sedunia yang diselenggarakan di Istana Presiden, Jakarta, Senin (10
Desember 2012).
Presiden SBY mengemukakan, sesuai analisisnya selama delapan tahun
lebih ini, ada dua jenis korupsi yaitu: korupsi yang diniati oleh
pelakunya, dan korupsi yang terjadi karena ketidakpahaman seorang
pejabat bahwa yang dilakukan itu keliru dan itu terkategori korupsi.
Untuk membekali setiap pejabat tentang pemahaman korupsi, Presiden SBY
menurut rencana pada pertengahan Januari 2013 akan mengundang seluruh
gubernur, bupati, walikota, penegak hukum, polisi,BPK,BPKP, PPATK,
kejaksaan, dan pembuat undang-undang untuk bertemu dan menjelaskan
seputar kebijakan dan larangan dan aturan korupsi.
"Jangan sampai kita hidup dalam ketakutan karena kurang jelasnya
pemahaman kita semua meskipun tidak boleh dibaca ini permisif kepada
para tindak pidana korupsi. Kita komit dan kita menjadikan itu
(pemberantasan korupsi) sebagai prioritas," tandas Presiden SBY seperti
dilansir www.setgab.go.id.
0 komentar:
Posting Komentar