Senin, 17 Desember 2012

Demokrat Bukan 'SBY Fans Club'

Konsolidasi yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dengan mencopot sejumlah orang di Dewan Pimpinan Pusat dinilai sebagai penegasan bahwa partainya bukan sekumpulan penggemar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau ”SBY Fans Club”.
Meski demikian, konsolidasi yang tengah diupayakan tetap susah mengerek elektabilitas Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mengingat sejumlah politisinya masih terjerat kasus korupsi.
Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, langkah Anas membersihkan sejumlah kader Demokrat di DPP merupakan penegasannya di hadapan kader dan pengurus daerah. Pencopotan Ruhut Sitompul dari Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat merupakan sinyal siapa sesungguhnya yang berkuasa di partai.
”Ini untuk meng-counter pandangan bahwa Demokrat sama dengan SBY semata,” ujar Yunarto di Jakarta, Minggu (16/12).
Di sisi lain, pernyataan Anas soal pentingnya dukungan kepada pemerintah dan menjaga agar Presiden Yudhoyono mengakhiri pemerintahan dengan baik juga sinyal politik. Citra Demokrat tidak hanya terpengaruh kasus hukum yang menyebut-nyebut kader Demokrat, tetapi juga sangat terpengaruh oleh kerja politik SBY sebagai Presiden.
Menurut Yunarto, Anas tengah mencoba pendekatan lain dalam menampilkan sosok Demokrat. Bila selama ini pendekatannya top-down karena mengandalkan figur SBY, sekarang Anas mencoba memanfaatkan kerja kadernya di daerah untuk menguasai daerah pemilihan. Dengan kata lain, Anas ingin lepas dari citra bahwa Demokrat adalah ”SBY Fans Club”. 

Perang urat saraf
Secara terpisah, peneliti Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, sentilan Anas tentang popularitas Partai Demokrat yang turun salah satunya kepada kinerja pemerintah SBY menunjukkan adanya perang urat saraf antarfaksi di Demokrat. ”Anas sebenarnya ingin menantang SBY. Meski di sisi lain, Anas juga tak henti mengirim pesan kepatuhan kepada SBY, salah satunya dengan memberikan lifetime achievement award,” ujarnya.
Sejalan dengan Yunarto, Burhanuddin menilai, langkah konsolidasi yang dilakukan Anas tidak mampu mengangkat elektabilitas Demokrat. ”Isu korupsi sudah menghancurkan citra partai. Kemenangan Demokrat di Pemilu 2009 salah satunya karena kemampuan menjual isu bersih dari korupsi,” kata Burhanuddin.
Terkait konsolidasi Demokrat, Sekretaris Departemen Penegakan Hukum DPP Demokrat Patra M Zen mengatakan, upaya itu dilakukan untuk mengingatkan memori kolektif kader agar menjalankan politik yang cerdas, santun, dan bersih.
Menurut Patra, tidak mungkin Demokrat melepaskan diri dari figur SBY. Maka tidak salah jika semua kader partai mengagumi dan menjadi fans SBY. ”Peran dan posisi SBY tidak akan bisa tergantikan di Partai Demokrat,” kata Patra. 

Penerapan sanksi
Terkait memburuknya citra partai, pakar hukum tata negara Saldi Isra dan anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mengemukakan, citra atau nama baik partai dapat pulih jika sejak awal partai menerapkan mekanisme sanksi. Untuk itu, partai seharusnya memiliki dan mengimplementasikan mekanisme lembaga internal partai untuk menilai calon terindikasi melanggar kode etik dan garis partai atau tidak.
”Mekanisme internal harus ada. Misalnya, ada majelis kode etik partai yang bekerja untuk menilai kader apakah melanggar kode etik partai, garis kebijakan partai, atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, atau tidak. Kalau merugikan partai atau nama baik partai, sejak awal dipikirkan bagaimana penerapan sanksinya,” kata Saldi.
Menurut Emerson, partai apa pun cenderung menyerahkan ke proses hukum jika ada kader yang terindikasi korupsi. Namun, secara diam-diam, partai cenderung memberikan proteksi.
”Harus ada mekanisme untuk meningkatkan atau memelihara citra partai. Jangan sampai mengampanyekan antikorupsi, tetapi tidak ada mekanisme internal untuk menguji kader-kader sendiri,” ujarnya.


Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar