Konsolidasi yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dengan mencopot sejumlah orang di Dewan Pimpinan Pusat dinilai sebagai penegasan bahwa partainya bukan sekumpulan penggemar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau ”SBY Fans Club”.
Meski demikian, konsolidasi yang tengah diupayakan tetap susah mengerek elektabilitas Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mengingat sejumlah politisinya masih terjerat kasus korupsi.
Direktur
Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, langkah Anas
membersihkan sejumlah kader Demokrat di DPP merupakan penegasannya di
hadapan kader dan pengurus daerah. Pencopotan Ruhut Sitompul dari Ketua
Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat merupakan
sinyal siapa sesungguhnya yang berkuasa di partai.
”Ini untuk meng-counter pandangan bahwa Demokrat sama dengan SBY semata,” ujar Yunarto di Jakarta, Minggu (16/12).
Di
sisi lain, pernyataan Anas soal pentingnya dukungan kepada pemerintah
dan menjaga agar Presiden Yudhoyono mengakhiri pemerintahan dengan baik
juga sinyal politik. Citra Demokrat tidak hanya terpengaruh kasus
hukum yang menyebut-nyebut kader Demokrat, tetapi juga sangat
terpengaruh oleh kerja politik SBY sebagai Presiden.
Menurut
Yunarto, Anas tengah mencoba pendekatan lain dalam menampilkan sosok
Demokrat. Bila selama ini pendekatannya top-down karena mengandalkan
figur SBY, sekarang Anas mencoba memanfaatkan kerja kadernya di daerah
untuk menguasai daerah pemilihan. Dengan kata lain, Anas ingin lepas
dari citra bahwa Demokrat adalah ”SBY Fans Club”.
Perang urat saraf
Secara
terpisah, peneliti Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi
mengatakan, sentilan Anas tentang popularitas Partai Demokrat yang turun
salah satunya kepada kinerja pemerintah SBY menunjukkan adanya perang
urat saraf antarfaksi di Demokrat. ”Anas sebenarnya ingin menantang
SBY. Meski di sisi lain, Anas juga tak henti mengirim pesan kepatuhan
kepada SBY, salah satunya dengan memberikan lifetime achievement
award,” ujarnya.
Sejalan dengan Yunarto, Burhanuddin menilai,
langkah konsolidasi yang dilakukan Anas tidak mampu mengangkat
elektabilitas Demokrat. ”Isu korupsi sudah menghancurkan citra partai.
Kemenangan Demokrat di Pemilu 2009 salah satunya karena kemampuan
menjual isu bersih dari korupsi,” kata Burhanuddin.
Terkait
konsolidasi Demokrat, Sekretaris Departemen Penegakan Hukum DPP
Demokrat Patra M Zen mengatakan, upaya itu dilakukan untuk mengingatkan
memori kolektif kader agar menjalankan politik yang cerdas, santun,
dan bersih.
Menurut Patra, tidak mungkin Demokrat melepaskan
diri dari figur SBY. Maka tidak salah jika semua kader partai mengagumi
dan menjadi fans SBY. ”Peran dan posisi SBY tidak akan bisa
tergantikan di Partai Demokrat,” kata Patra.
Penerapan sanksi
Terkait
memburuknya citra partai, pakar hukum tata negara Saldi Isra dan
anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho
mengemukakan, citra atau nama baik partai dapat pulih jika sejak awal
partai menerapkan mekanisme sanksi. Untuk itu, partai seharusnya
memiliki dan mengimplementasikan mekanisme lembaga internal partai untuk
menilai calon terindikasi melanggar kode etik dan garis partai atau
tidak.
”Mekanisme internal harus ada. Misalnya, ada majelis
kode etik partai yang bekerja untuk menilai kader apakah melanggar
kode etik partai, garis kebijakan partai, atau anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, atau tidak. Kalau merugikan partai atau nama
baik partai, sejak awal dipikirkan bagaimana penerapan sanksinya,” kata
Saldi.
Menurut Emerson, partai apa pun cenderung menyerahkan
ke proses hukum jika ada kader yang terindikasi korupsi. Namun, secara
diam-diam, partai cenderung memberikan proteksi.
”Harus ada
mekanisme untuk meningkatkan atau memelihara citra partai. Jangan
sampai mengampanyekan antikorupsi, tetapi tidak ada mekanisme internal
untuk menguji kader-kader sendiri,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar