Selasa, 04 Desember 2012

Koruptor Rampok Rp 39,3 Triliun

Ketika faktor integritas menjadi acuan bangsa-bangsa di dunia untuk maju, di Indonesia justru sebaliknya. Korupsi malah terus beregenerasi secara masif. Sebanyak 1.408 kasus korupsi yang merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun selama 2004-2011 menjadi bukti buruk korupsi.
Demikian jalinan pesan penting dari pidato Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (4/12). Hadir dalam kesempatan itu sekitar 300 pegawai pajak.
”Menjadi amat fundamental hari ini untuk melihat hadirnya integritas sebagai perjuangan semesta. Ini bukan tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga berbagai pihak. Menghadirkan integritas hari ini adalah kunci yang sangat fundamental untuk Indonesia maju ke depan,” kata Anies.
Menurut Anies, dunia sekarang tidak bisa lagi menoleransi hadirnya individu tanpa integritas. Tren dunia adalah menuju tata kelola yang baik, integritas penuh, dan hilangnya korupsi.
Pemiskinan struktural
Sebaliknya, di Indonesia cacat integritas masih diberi ruang. Buktinya, kata Anies, individu yang pernah terjerat kasus korupsi bisa maju menjadi bupati. ”Tidak pernah ada kata terlambat dalam memulai integritas. Namun, bila ini tidak menjadi kesadaran kolektif, kita semua akan ketinggalan,” ujarnya.
Busyro menyebutkan, kasus korupsi telah menyebabkan pemiskinan secara struktural, konflik horizontal, dan akhirnya menimbulkan krisis peran negara. Sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi bukti dampak buruk korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp 39,3 triliun. Anggaran sebesar itu bisa untuk membangun, misalnya, 393.000 rumah sederhana atau memberikan bantuan modal usaha untuk 3,9 juta sarjana baru.
”Ketika korupsi mencapai angka Rp 39,3 triliun sejak tahun 2004 sampai 2011 dan bisa diberikan padanan fasilitas publik seperti itu, tidak bisa lagi kita bertoleransi sedikit pun terhadap korupsi,” kata Busyro.
Hal yang menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan, lanjutnya, korupsi beregenerasi. Regenerasi itu tampak dari jumlah tersangka korupsi dengan umur di bawah 40 tahun yang belakangan semakin banyak. Keterlibatan kaum perempuan juga meningkat.
Evolusi korupsi, kata Busyro, mengarah pada bentuk-bentuk baru yang semakin sistemik dan sinergis. Model yang paling membahayakan adalah korupsi yang didesain. KPK menemukan banyak peraturan dan kebijakan, baik di pemerintah pusat maupun daerah, yang didesain untuk melegalkan sesuatu yang ilegal.
Contohnya, penyusunan undang-undang yang didesain untuk melegalkan korupsi. UU itu sifatnya pesanan. Model lain adalah UU yang sejatinya bagus dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat akhirnya direvisi tanpa alasan logis dan tanpa dasar moralitas hukum. Ada pula sejumlah UU yang diajukan uji materi dan akhirnya dinyatakan inkonstitusional.
Korupsi di daerah, Busyro menambahkan, juga semakin jamak. Targetnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hasil penelitian KPK menunjukkan, APBD dijadikan sasaran korupsi oleh sebagian pejabat pemerintah daerah dan DPRD. Ini melibatkan cukong politik dan cukong finansial.
Berdasarkan data KPK, dari 332 tersangka kasus korupsi selama tahun 2004-2011, sebanyak 106 orang di antaranya atau yang terbanyak adalah pejabat eselon I-III. Berikutnya, pihak swasta 69 tersangka, anggota DPR dan DPRD 65 tersangka, serta bupati/ wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota 31 tersangka.
Target korupsinya beragam, mulai dari sektor penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak, belanja barang dan jasa, bantuan sosial, pungutan daerah, hingga transfer daerah. ”Bagaimanapun korupsi telah menimbulkan pemiskinan struktural, konflik horizontal, dan akhirnya menimbulkan krisis peran negara,” kata Busyro.
Rawan korupsi
Agus Martowardojo mengakui, sektor perpajakan dan kepabeanan adalah wilayah yang rawan korupsi. Karena itu, ia mengimbau semua pegawai di Kementerian Keuangan untuk mencegah dan memberantas korupsi. ”Jangan diteruskan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Hanya soal waktu. Nanti hal ini akan terungkap dan betul-betul akan membuat kondisi kita pedih,” kata Agus. Fungsi pemimpin dalam memberikan teladan antikorupsi, menurut dia, adalah mutlak dan paling mendasar.
Melihat fakta tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, mengatakan, DPR memang termasuk episentrum korupsi. ”Angka itu sebenarnya baru gambaran kecil dari persoalan korupsi di Indonesia, ibaratnya ini hanya puncak gunung es. Namun, setidaknya ini adalah sinyal awal sistem korupsi di Indonesia telah tergambarkan dengan titik episentrumnya di DPR,” kata Abdullah.
Fungsi kewenangan DPR yang besar memungkinkan mereka untuk korupsi, terutama ketika berkaitan dengan fungsi anggaran.
Fenomena ini juga menggambarkan praktik kekuasaan yang korup dengan didominasi kekuatan partai politik. ”Ini juga dampak dari liberalisasi demokrasi yang di Indonesia diwarnai dengan politik biaya tinggi. Para kader parpol berlomba-lomba mengumpulkan modal untuk mempertahankan keberadaannya di internal parpol atau untuk modal agar terpilih lagi pada masa mendatang,” ujar Abdullah.
Keuangan di daerah juga tergerogoti korupsi. Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa, dalam seminar di Komisi Hukum Nasional (KHN), mengatakan, setidaknya tercatat 1.890 laporan korupsi terjadi di sejumlah daerah, termasuk daerah pemekaran.
Abdul Wahid, Direktur LPITI Universitas Islam Malang, menyebutkan, penggerogotan keuangan daerah merupakan bentuk kejahatan yang mengakibatkan banyak hak rakyat gagal ditegakkan.
Menurut Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Indonesia (Fitra) Uchok Sky, banyak kongkalikong terjadi dalam pemanfaatan dana alokasi umum atau dana alokasi khusus. Febri Diansyah, peneliti ICW, menyebutnya desentralisasi korupsi karena munculnya ”raja-raja” kecil di daerah.
Dalam kondisi itu, Ketua KHN JE Sahetapy mengatakan, ”Keadaan negara kita sudah amburadul. Kalau politik pencitraan, semua harus diungkapkan secara sopan, saya menyebut negara kita sedang mengalami anomi. Keadaan berbangsa dan bernegara kita sedang membingungkan.”


Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar