Pengakuan keputusasaan datang dari mulut Angelina Sondakh. Mantan
Koordinator Pokja Anggaran Komisi X DPR RI dari Partai Demokrat ini
mengaku sempat terbesit untuk mengakhiri hidupnya karena tidak kuat
menanggung beratnya beban yang ditimpakan kepadanya. Mengingat usai
ditinggal mendiang suaminya Adjie Mas Said, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) juga menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus suap pembahasan
anggaran di Kemenpora dan Kemendiknas 2010/2011. “Saya hampir ingin
bunuh diri tidak lama setelah suami saya wafat, apalagi usai itu
ditetapkan sebagai tersangka. Namun agama dan anak-anak sayalah yang
membuat saya bertahan,” ucapnya sembari sesengukan saat membacakan
pembelaan pribadinya (pledoi) di Persidangan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), Kamis (3/1). Menurutnya, politik itu kejam. Kendati tidak
menerima uang sepeser pun dari Permai Group, mantan putri Indonesia 2001
ini menegaskan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan menuntut 12
tahun penjara dan ganti rugi Rp 32 milliar merupakan ledakan petir di
siang bolong. “Di mana kesalahan saya sehingga harus dihukum berat.
Apakah Angelina sudah melakukan perbuatan hina yang sangat berat
melebihi Nazaruddin dan Mindo yang terbukti kuat melakukan penyuapan di
Kantor Kemenpora,” katanya. Awalnya Angie, begitu dirinya biasa
dipanggil ini meyakini bahwa dirinya akan dituntut ringan karena fakta
di persidangan tidak ada seorang pun yang mengatakan dirinya menerima
uang 16 transaksi dari perusahaan Nazaruddin (Permai Group-red) untuk
proyek tersebut. Bahkan Muhammad Nazaruddin mengatakan dirinya tidak
terlibat dalam kasus wisma atlet. “Tidak mungkin saya dihukum lebih
berat dari Nazaruddin yang kabur ke luar negeri dengan tuntutan tujuh
tahun dan vonis 4,5 tahun tanpa ganti rugi. Tapi ternyata itu semua
salah,” tandasnya dengan berurai air mata.
Oleh karenanya, dia menganggap tidak adil jika hukuman yang
didakwakan kepadanya lebih berat daripada Nazaruddin. Apalagi selama
ini, dirinya selalu bertindak kooperatif, tidak kabur ke luar negeri dan
selalu hadir tepat waktu di persidangan. “Mengapa saya wanita yang
tidak berdaya harus dituntut dengan hukuman yang sangat berat tanpa ada
bukti-bukti yang jelas,” katanya. Karena itu, melalui pledoinya,
politisi yang dulunya berprofesi sebagai artis ini meminta kepada
Majelis Hakim agar menguji Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Tipikor yang
dikenakan kepadanya. Sebabnya ia merasa tidak pernah menerima uang
tersebut dan diminta untuk mengembalikan. Dan jika Negara berniat
merampas hartanya, ia memohon kepada Hakim agar jeli. “Saya punya tanah
di Bali pemberian ibu saya, dan rumah di Cilandak merupakan hasil
penjualan rumah suami saya di Rawamangun. Di rumah itu terdapat hak anak
yatim saya, negara jangan merampas hak-hak anak yatim tersebut,”
tukasnya. Mantan anggota DPR dari Partai Demokrat tersebut mengaku tak
satu rupiah pun menerima uang suap terkait dengan tugasnya sebagai wakil
rakyat. “Dalam persidangan tak terbukti satu rupiah pun saya menerima.
Jadi apa yang harus saya kembalikan?,” ujar Angie di depan majelis hakim
yang diketuai Sudjatmiko. Saat membacakan pembelaan, mantan Putri
Indonesia tersebut tak henti menahan tangis. Angie meminta majelis hakim
cermat dalam meneliti asal usul aset yang ia miliki.
M. Nazaruddin adalah bekas Bendahara Partai Demokrat yang menjadi
terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Ia adalah pemilik Grup
Permai, kelompok usaha yang mengerjakan sejumlah proyek di Kemenpora dan
Kemendiknas. Sedangkan Mindo Rosalina Manulang alias Rosa adalah
Direktur Pemasaran di perusahaan tersebut. Di persidangan, Nazaruddin
dan Rosa terus memojokkan dan menuding Angie menerima fee dari Grup
Permai karena telah menggiring anggaran. Angie menyebut Rosa tidak
pantas menyandang predikat justice collaborator atau saksi kunci yang
bekerjasama mengungkap kasus. Menurut Angie, Rosa pernah membujuknya
agar meminta uang senilai Rp 20 miliar kepada sejumlah nama yang
ditentukan. Jika nama-nama itu memberi uang, tidak akan disebut dalam
persidangan. Angie mengaku menolak bujukan Rosa. “Yang membuat saya
terkejut, nama-nama yang dia sebutkan itu tidak pernah dia ungkapkan
dalam persidangan. Justice collaborator akhirnya berubah menjadi apa
yang saya sebut sebagai justice calculator,” kata Angie. Ia meminta
aparat penegak hukum tidak begitu saja percaya kepada pihak yang
menyebut diri sebagai justice collaborator.
Angie kembali menceritakan kunjungannya kepada Rosa di Rutan Pondok
Bambu, beberapa waktu setelah Rosa dipidana dalam kasus Wisma Atlet. Di
sidang sebelumnya, nama yang dimaksud adalah Ketua Partai Demokrat Anas
Urbaningrum. Rosa memaksa Angie menggelar jumpa pers untuk menyebut nama
Anas. “Mindo Rosalina begitu licik dan picik memainkan semua ini. Ada
konspirasi yang nyata dan saya dijadikan kambing hitam,” kata Angie.
Angie mengaku, saat menjadi koordinator kelompok kerja anggaran di
Komisi X DPR adalah sosok yang lugu dan tidak mengetahui permainan
anggaran. “Keluguan dan kepolosan saya telah diperdaya oleh orang
dibalik topeng kebenaran,” ujarnya. Angie menyebut tuntutan dari Jaksa
KPK terlalu berat. “Itu bagaikan petir di siang bolong,” ujarnya. Ia
heran mengapa hukumannya jauh lebih berat daripada yang diterima
Nazaruddin dan Rosa. Padahal, Rosa jelas-jelas telah tertangkap tangan
menerima suap. Sementara, menurut Angie, dirinya tidak terbukti menerima
imbalan. “Apakah seorang Angelina Sondakh sudah melakukan kejahatan
yang luar biasa dan hina, melampaui Nazar dan Rosa?,” katanya. Di kasus
Wisma Atlet, Nazaruddin hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara.
Sedangkan Rosa hanya dipenjara 2 tahun 6 bulan.
Hakim Usir Anaknya
Selain hal di atas, yang mengagetkan Janda Adjie Mas Saidini sempat
membawa dua buah hatinya yakni ZRM (11) dan AM (10) di persidangan
Tipikor, Kamis (3/1). Mereka rencananya akan menemani ibunya dalam
pembacaan Pledoi. Keduanya sempat duduk di barisan depan ruang sidang
Pengadilan Tipikor. Namun baru beberapa menit sidang dimulai, Ketua
Majelis Hakim, Sudjatmiko meminta kedua anak terdakwa tersebut untuk
meninggalkan ruang sidang karena masih di bawah umur. “Yang di bawah
umur silahkan di luar,” tegasnya.
Mendengar hal tersebut, pengasuhnya kemudian membawanya ke luar
persidangan. Menanggapi hal itu, pengamat hukum dari UIN Syarif
Hidayatullah, Andi Syafrani menegaskan pada dasarnya sidang pidana
korupsi terbuka untuk umum. Namun kehadiran anak-anak di bawah umur
biasanya memang dilarang karena dapat mempengaruhi psikologi anak dan
juga hadirin di persidangan dan salah satu ketakutannya adalah
mengganggu jalannya persidangan karena bising menangis dan sebagainya.
“Di sidang Mahkamah Agung memang melarang membawa anak-anak ke dalam
persidangan,” bebernya saat dihubungi INDOPOS, Kamis (3/1). Jadi
tindakan hakim mengusir anak Angie tersebut adalah tindakan sah dan
layak dalam etika persidangan. Kemungkinan besar dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) juga tidak memperbolehkan hal itu. Dan itu sudah
menjadi konvensi dimana-mana. “Kehadiran anak itu, bisa juga dijadikan
tameng oleh Angie, makanya keputusan hakim itu sudah tepat,” imbuhnya.
Sidang pun sementara waktu ditunda dan akan dilanjutkan pada Kamis
(10/1) depan dengan mengagendakan pembacaan vonis. Sebagiamana
diketahui, Jaksa menganggap Angie bersalah melanggar pasal 12 huruf a
juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Jaksa menuntutnya dengan 12 tahun kurungan dan denda Rp 500 juta
serta membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar serta US$ 2,35
juta, jika tidak mampu bisa diganti dengan kurungan dua tahun penjara.
0 komentar:
Posting Komentar