Kamis, 29 November 2012

Peran Media Sebagai Alat Komunikasi Politik dalam Kampanye Pemilu

Sebuah agenda besar dari demokrasi tentunya adalah Pemilu, baik itu Pemilu Legislatif maupun eksekutif (kepala daerah/Presiden). Ketika menjelang masa-masa Pemilu begitu riuhnya hiruk pikuk perpolitikan di negeri kita. Seolah tidak ada yang lain lagi isu di negara ini, walaupun ada namun nuansa politis sangat kental mengisi berbagai media. Begitu kuatnya aroma intrik dalam masa-masa tersebut.
Kampanye sebagai komuniksai politik
Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau calon tertentu yang sudah berkampanye secara terselubung. Mereka mulai berebut simpati massa lewat pendekatan-pendekatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi baik hati, dan perhatian terharap rakyat. Jelas kondisi ini sangat kontaras dengan hari-hari biasanya.
Menjelang Pemilu adalah masa saatnya kampanye dimana setiap Parpol atau calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Roger dan Storey (dalam Antar Venus, 2004: 7) memberi pengertian kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahtraan umum (public interest). Oleh karena itu isi pesan tidak boleh menyesatkan, maka disini tidak perlu ada pemaksaan dalam mempengaruhi.
Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pflau dan Parrot upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan, sikap, dan prilaku. Dalam aspek pengetahuan diharapkan akan munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang isu tertentu, yang kemudian adanya perubahan dalam ranah sikap. Pada tahap akhir dari tujuannya yaitu mengubah prilaku masyarakat secara konkret berupa tindakan yang bersifat insidental maupun berkelanjutan.
Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu, interaksi politik berlangsung dalam tempo yang mengingkat. Setiap peserta kampanye berusaha meyakinkanpara pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk memenangkan kedudukan.
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi publik untuk menggalang dukungan. Pada kasusu pemilu jenis kampanye yang digunakan adalah candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandodat yang dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan. Karena memang tujuan dari kampanye Pemilu adalah untuk pengisian jabatan publik (rekruitmen politik). Karena berbicara politik adalah berbicara soal perebutan kekauasaan.
Pada dasawarsa yang lalu banyak teoritisi komunikasi masih memandang media sebagai komponen komuniksasi yang netral. Pada waktu itu berlaku asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir atau saat ini sebagai alat komunikasi politik dalam kampanye Pemilu? Apakah media mampu mempertahankan kenetralannya dalam Pemilu?
Dalam sebuah negara yang belum demokratis, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat dipahamai karena pemerintah memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga stabilitas. Tak heran jika media di dalam negara tersebut sangat selektif menyiarkan berita dan tentunya melewati kontrol pemerintah.
Begitu juga kondisi media di negara Indonesia sejak dahulu. Media massa yang ada pun biasanya merupakan representasi dari pemerintah atau Parpol tertentu. Jadi begaimana media mampu berperan netral dalam menciptakan demokrasi kalau dia sendiri lahir dari ‘tangan-tangan’ politik ?.
Pada masa orde baru media adalah pendukung pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam. Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.
Peran media massa
Menurut Mc Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian komentaratau interpretasi yang membantu pemahaman maknainformasi; ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; kelima, transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat (dalam Yuniati, 2002: 85).
Oleh karena itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Biarlah masyarakat sendiri yang akan menilai. Yang diperlukan media hanyalah menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan berita.
Pengaruh televisi
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik merupakan sebuah salauran kampanye terhadap konstituen. Apalagi dengan arus teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran utama bagi jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi sudah mampu menggunakan internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun calon yang akan berkompetisi di Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye melalui media elektronik khususnya televisi.
Banyak sedikitnnya penayangan yang berhubungan dengan transformasi ataupun sosialisasi visi dan misi dari sebuah Partai maupun calon yang dijagokannya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, bagi yang ingin mendapat kemenangan suara harus mampu “menguasai” media ini dengan penayangan iklannya. Tetapi tidak sedikit biaya tentunya.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu tahun 2004 kemarin khususnya Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek tersebut berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus dicoblos menurut iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum ibu-ibu yang riuh dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena kesadaran politik.
Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti mereka. Dengan televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat, bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan, diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).
Iklan tidak hanya sering tapi juga harus menarik dan mudah diingat oleh masyarakat. Pemberitaan mengenai Partai maupun tokoh juga berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Misalnya Partai mana saja yang sering melakukan kecurangan atau bertindak anarki akan dapat di lihat masyarakat secara aktual. Oleh karena itu opini yang ‘sengaja’ dibentuk oleh media menjadi senjata untuk menaikan ataupun menjatuhkan pamor salah satu kontestan Pemilu.
Dengan demikian diperlukan obyektivitas dan netralitas dari media itu sendiri agar tercipta iklim yang baik dalam masa Pemilu. Namun kita juga tidak boleh melupakan salah satu tujuan usaha yaitu tentunya profit. Artinya kita jangan mudah terpedaya oleh media massa yang mengatasnamakan berimbang dan tidak memihak. Karena penayangan iklan tentunya tidak gratis. Banyak sedikitnya penayangan ditentukan oleh besar kecilnya biaya. Selain itu juga kita perlu melihat siapa yang ada di balik media itu. Sedekat apakah hubungan antara sebuah media dengan pemerintah, Parpol, maupun tokoh politik lainnya. Ini sebagai parameter untuk mengukur netralitas sebuah media. Karena ini mempengaruhi pada setiap pemberitaan oleh media.
Tentunya kita sering melihat sebuah media lebih condong pada pemerintah atau partai tertentu. Kalau kita jeli dalam mencermati berita oleh media cetak ataupun elektronik, terkadang pemeberitaan selalu menyudutkan salah satu pihak dan mengunggulkan pihak yang lain. Selalu mencari kesalahan pihak ‘lawan’ tanpa melihat juga kesalahan pihak yang dibela.
Pengaruh surat kabar
Selain televisi, surat kabar atau media cetak memiliki andil dalam pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi merupakan sebuah proses pemberian makna terhadap apa yang kita tangkap dari indera kita, sehingga kita memperoleh pengetahuan baru dari hal tersebut. Persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi yang ditangkap secara keseluruhan. Begitu juga dengan pencitraan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan dipersepsi.
Informasi atau berita dalam media massa merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh gatekeeper yang dijabat oleh pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana surat kabar. Berita dalam surat kabar sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah laporan dari suatu kejadian penting dan dianggap menarik perhatian umum. Berita merupakan salah satu informasi yang diberikan oleh surat kabar. Dalam hal penyajian berita harus melalui seleksi. Karena isi berita sangat berpengaruh pada minat masyarakat untuk membaca.
Oleh karena adanya seleksi dalam pemuatan berita, maka tidak semua berita atau informasi yang ada dapat ter-expose. Berita yang dimuat biasanya hanya berita yang memiliki nilai jual. Terkadang dari sinilah kurang netralnya sebuah media. Media hanya mementingkan keuntungan saja, terkadang media kurang memeprhatikan masyarakat kecil khususnya. Sehingga mereka tak pernah terjamah oleh dunia elit.
Patterson berkesimpulan bahwa informasi surat kabar lebih efektif bagi khalayak dibanding televisi. Sajian berita surat kabar selain bentuk kata tercetak, juga kerap dalam bentuk visual berupa foto berita, lambang patai politik, atau karikatur. Dari asumsi ini terlihat bahwa surat kabar memiliki pengaruh yang besar pula dalam kampanye politik.
Menurut hasil penelitian terhadap mahasiswa, bahwa penonjolan berita pemilu melalui frekuensi pemunculan berita dan judul berita Organisasi Peserta Pemilu (OPP) terhadap persepsi mahasiswa tentang partai politik menunjukkan pengaruh yang signifikan (Yuniati, 2002). Suatu pesan atau berita yang sering diulang-ulang akan dapat menarik perhatian seseorang dabanding dengan pesan yang kurang banyak diungkapkan. Terlebih jika suatu berita serentak di berbagai surat kabar maupun televisi ditayangkan. Dalam surat kabar, sebuah berita besar atau yang menjadi topik utama selalu ditempatkan di halaman depan dengan judul yang menarik dan membuat penasaran ditambah dengan foto yang mendukung.
Semakin sering seorang tokoh atau berita tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004. Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama. Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut, tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan dalam Pemilu. Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan media tersebut. Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh orang banyak di segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya. Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media, media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada kebebasan pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula ‘menjilat’ pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.


Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar