Sabtu, 01 Desember 2012

Masyarakat Minahasa Kuno

Oleh: Ramly Siwi, USA

Awu dan Taranak


Rumah Adat Minahasa
Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur. Sampai sekarang di Minahasa masih banyak di dapati tempat masak terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di pergunakan banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal di satu rumah besar berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi itu erat hubungannya dengan keamanan.
Dalam kunjungan Prof. Reinwardt tahun 1821 ke Tondano dia masih melihat rumah rumah yang tiang tiangnya sekitar dua pelukan orang dewasa. Kemudian laporan Dr. Bleeker pada tahun 1855 menulis bahwa kampung kampung di Minahasa di bangun di atas tiang tiang tinggi dan besar, dan di huni oleh empat keluarga bersama sama.
Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah yang di sebut awu. Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.

Tondano sebelum 1880
© Het Geheugen van Nederland
Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya. Kepala di sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama dari keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak, hubungan antar Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut keamanan dan prestise Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak, karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Berlainan dengan di tingkat Awu yang mana pengurus berada dalam tangan Ama dan Ina bersama sama, pada tingkat Taranak peranan si Ina tidak terlalu menonjol.

Taranak, Roong / Wanua, Walak

Perkawinan perkawinan antara anggota Taranak membentuk Taranak Taranak baru. Bangsal bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin luas . Batas penentuan sesuatu Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi kabur, dan arti Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu sebagai alat identifikasi para penghuni kompleks bangsal, dipakailah kesatuan teritorial. Dengan kata lain fungsi identifikasi mulai bergeser dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.

Pemilihan Ukung 1900
Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di sebut Ro'ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para penghuni Ro'ong atau Wanua itu. Pemimpin Ro'ong atau Wanua disebut Ukung yang berarti kepala atau pimpinan. Untuk pengurusan wilayah, Ro'ong atau Wanua di bagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada mulanya Lukar ini dititik beratkan pada keamanan sehingga akhirnya Lukar di ganti menjadi Jaga.
Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata Lukar dalam arti orang orang yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.
Para Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut Meweteng. Tugas mereka mulanya membantu Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari Ro'ong / Wanua. Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.
Selain itu pula ada pembantu Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama dalam hal hal yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah para tetua yang dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan dapat dijadikan contoh di dalam Wanua, yang di namakan Pa Tu'usan (yang dapat dijadikan contoh).
Ro'ong / Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa Wanua tertentu yang akhirnya disebut Walak.

Paesa In Deken


Pemerang Manado 1880
© Het Geheugen van Nederland
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: " Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: " Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.
Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."
Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.
Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.
Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga ( Pa'eren Telu):
  1. Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
  2. Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
  3. Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .
Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.
Dr. Riedel menulis:
"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah ini, para Paendon Tua, di pilih oleh para Awu. "

Mapalus (tolong menolong)

Dalam Mapalus, prinsip yang sama kelihatan yang mana para wanita memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan berarti wanita mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan rombongan Mapalus itu, dan mereka di haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi Mapalus ini di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan Kumeter), sesudah teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk anggota yang malas dan pelanggar peraturan".
Dan ketentuan ini masih berlangsung sampai sekarang di beberapa daerah di Minahasa.
Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena perkembangan masyarakat selanjutnya, dimana milik perorangan telah tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah dll.

Sumber 


Related Articel:

0 komentar:

Posting Komentar